Selasa 05 Sep 2017 16:10 WIB
Buruh Cuci Naik Haji

Apa Ini Saya Teh Mimpi Bisa Datang ke Sini?

Jamaah haji Kartini
Foto: Republika/Ani Nursalikah
Jamaah haji Kartini

IHRAM.CO.ID, Oleh : Wartawan Republika.co.id. Hj Ani Nursalikah, dari Makkah

Takdir Allah memang tak bisa ditebak. Tak bisa dicerna dengan logika. Takdir Allah pula yang mengantarkan Kartini menginjak Tanah Suci. 

Tekadnya untuk berangkat haji sudah bulat. Semangatnya menggebu. Dia sendiri sempat tak percaya mampu pergi ke dua kota suci, Madinah, dan Makkah

Keraguan sempat tebersit di benaknya. Bagaimana mungkin seorang buruh cuci bisa pergi haji, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah cukup membuatnya kembang kempis.

Perempuan 52 tahun asal Rancaekek, Bandung ini awalnya berjualan nasi pada 1991. Sayangnya, kebakaran yang terjadi pada 1994 membuatnya kehabisan modal. Sejak saat itu, dia beralih profesi menjadi buruh cuci. Pada 2011, dia mulai menabung untuk berangkat ke Tanah Suci.

"Pengen sekali berangkat. Tiap ada yang berangkat, saya bertanya ''Kapan teh saya bisa menyusul?'' Ingin sekali tidak hanya lihat Ka'bah dari televisi," katanya dengan logat Sunda yang kental, Senin (4/9).

Memohon diberi kemudahan berangkat haji menjadi doa yang selalu ia panjatkan usai shalat. Karena itu, ia merasa bagaikan bermimpi saat akhirnya berada di Kota Nabi, Madinah. Kartini merupakan jamaah kloter JKS 47 yang termasuk gelombang pertama yang melaksanakan shalat arbain terlebih dahulu di Madinah. "Apa ini saya teh mimpi bisa datang ke sini? Alhamdulillah," katanya. 

Pertama kali melihat Ka'bah, ia menangis bahagia. Air mata Kartini tak henti-hentinya mengalir selama ia melakukan tawaf. Mimpinya nyata. Ia akhirnya bisa memeluk Ka'bah.

Untuk keluar dari area sekitar Ka'bah, Kartini mengaku ditolong orang asing. Orang asing itulah yang membukakan jalan baginya keluar dari kerumunan orang di sekitar Ka''bah. Meski rintangan berjalan kaki cukup berat baginya, namun dia menjalankan ibadah haji dengan hati senang. 

Untuk menjalankan ibadah haji, Kartini harus meminjam uang dari bank. Rumahnya ia jadikan jaminan. Sebelum meminjam ke bank, sempat muncul keraguan apakah boleh ke Tanah Suci dengan pinjaman bank. Namun, hatinya mantap setelah bertanya dengan seorang ustaz.

Sebagai buruh cuci, dia harus menyisihkan Rp 125 ribu setiap hari untuk membayar cicilan haji. Dalam satu bulan, ia harus melunasi cicilan haji sebesar Rp 3,5 juta. Kartini bekerja mencuci pakaian para pedagang di Pasar Induk Gedebage, Bandung. 

Satu setel pakaian tarifnya Rp 6.000 plus setrika. Dalam satu hari ia bisa mencuci paling banyak 50-70 setel pakaian. Tetapi, tidak semua pakaian itu selesai ia kerjakan dalam satu hari. Ia mendahulukan pedagang yang sudah tidak memiliki pakaian salin. Pekerjaan itu ia lakoni bersama putrinya.

Cobaan bagi Kartini tak hanya sampai di situ. Dua hari sebelum jatuh tempo pelunasan cicilan haji, dia sama sekali tidak memiliki uang. Ia pun pasrah jika tidak berhaji tahun ini.

"Pinjam (uang) ke kampung susah, jual sawah susah, jual rumah susah. Mungkin sudah nasib saya tidak berhaji tahun ini, ya nggak apa-apa," kata nenek seorang cucu ini.

Pertolongan Allah datang di saat yang tepat. Seorang teman pengajiannya mendengar kesulitannya dan bersedia meminjamkan uang. Alhamdulillah, pagi-pagi sekali ia datang ke bank untuk melunasi dan mendapatkan sertifikat.

Kartini mengaku saat akan berangkat pun ia tidak memegang uang sebagai bekal. Ia mengandalkan uang living cost sebesar 1.500 riyal. Rekan-rekannya di pengajian urunan untuk membekalinya. Uang itu lantas ia belikan pakaian sebagai buah tangan untuk teman-temannya.

Harapannya kini setelah resmi menyandang gelar hajah adalah menjadi orang yang lebih baik lagi. Tak lupa, ia memanjatkan doa agar bisa beribadah umrah sekeluarga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement