Kamis 12 Oct 2017 10:47 WIB

Bila Arab Saudi Makin ’Membisniskan’ Umrah dan Haji

Pasangan jamaah ber-swafoto di balkon Masjidil Haram. REUTERS/Ahmed Jadallah
Foto: REUTERS/Ahmed Jadallah
Pasangan jamaah ber-swafoto di balkon Masjidil Haram. REUTERS/Ahmed Jadallah

Beberapa tahun terakhir banyak pihak di Indonesia terus mengeluhkan layanan kepada para jamaah haji dan umrah yang dilakukan pemerintah Arab Saudi. Mereka menyatakan kualitas layanan tak kunjung naik secara signifikan meski harga layanan terus meningkat.

"Kami tidak bisa apa-apa terkait persoalan layanan haji ketika berada di Mina. Keluhan kami soal ketersediaan toilet untuk kaum perempuan tetap belum ditanggapi oleh pemerintah Arab Saudi yang memang menjadi pihak yang bertanggungjawab mengelola layanan selama jamaah berada di tempat itu,’’ kata Dirjen Pelayanan Haji dan Umrah, Nizar Ali, di Surabaya, beberapa hari lalu.

Bagi para pengelola perusahaan yang bergerak dalam pelayanan  umrah dan haji, soal tidak kunjung membaiknya kualitas layanan kepada para jamaahnya selama di Tanah Suci sudah bukan merupakan barang baru. Mereka pun mengaku tidak bisa berbuat mendapati timpangnya kualitas dengan terus menaiknya biaya layanan yang seharusnya diberikan oleh pihak Arab Saudi.

Maka menjad hal yang tidak aneh, bila layanan kepada jamaah selama tinggal di Mina sampai hari ini tidak beranjak mutunya dari kualitas yang mereka dapatkan pada musim haji 2003. Contohnya, kala itu selalu terhampar karpet merah di setiap lorong tenda para jamaah haji khusus. Namun kini tak ada lagi. Bahkan tenda yang sudah sobek-sobek tetap dibiarkan.

"Padahal saat itu, yakni di tahun 2003 biaya pelayanan kepada jamaah haji saat di Arafah dan Mina hanya 400 dolar AS. Namun, ketika harga layanan naik menjadi 1.400 dolar AS lima tahun berikutnya, atau menjadi  3.700 dolar AS pada tahun 2016, dan kemudian menjadi 4.500 dolar AS pada tahun 2017, kualitas layanan tetap sama dengan kualitas layanan tahun 2003. Bahkan, bisa dikatakan kini terus memburuk,’’ kata seorang pengelola travel umrah dan haji.

Dilema ini semakin menjadi ketika menjumpai biaya pengurusan visa yang terus melambung dan terindikasi akan terus naik setiap tahun.

Data menyatakan pada awal tahun 2000-an biaya pengurusan visa umrah gratis. Namun kemudian berbayar. Pada tahun 2016 ada biaya tambahan pengurusan visa sampai 15 dolar AS. Dan kini, pada tahun musim umrah pada tahun 2017-2018, biaya tambahan pengurusan visa naik dua lipat, menjadi 30 dolar AS per visa umrah.

Sekilas besaram biaya ini terkesan murah karena hanya 30 dolar AS. Namun, bila kemudian dikaitkan dengan jumlah jamaah umrah yang sudah mencapai lebih dari 800 ribu orang, bahkan dalam waktu dekat akan mencapai satu juta orang, maka jumlah dana yang bisa didapat oleh pihak Arab Saudi jumlah menjadi fantastis, mencapai 24 juta dolar hingga 30 jutadolar AS hanya dari soal pengurusan paspor umrah.

Dalam soal ini maka amat wajar, bila para pengelola bisnis travel umrah dan haji hanya tersenyum kecut. Mereka tak bisa bertindak apa-apa karena mereka tidak bisa memindahkan Makkah dan Madinah ke tempat lain.

Ya itulah, bila bisnis ini umrah dan haji sudah ‘dimonopoli’. Sekali lagi, kalau kecewa dengan pelayanan hotel, memang kemudian bisa memutuskan pindah ke hotel yang lain. Namun, kalau kecewa atas pelayanan selama jamaah umrah dan haji tinggal di Makkah dan Madinah, mana mungkin akan mampu  memindahkan dua tanah suci itu?

“Pemerintah Saudi tahu, meski kami merasa keberatan atau kecewa, akhirnya kami akan ikut saja. Umrah dan haji bagi Saudi kian menjadi ajang bisnis untuk mencari devisa negara,’’ kata pengusaha travel lainnya.

Jadi beranikah dan bisakah anda memindahkan Makkah dan Madinah bla kecewa atas layanan haji dan umrah? Jawabnya: tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin!

Mengapa Arab Saudi bersikap seperti itu? Tampaknya penyebab turunnya pendapatan negara itu akibat melorotnya harga minyak bumi di pasar internasional. Kesulitan ekonomi Arab Saudi semakin menjadi ketika mereka banyak terlibat dalam pembiayaan perang di Syuriah dan Yaman.

Dan kenyataan ini semakin terlihat ketika pemerintah kerajaan petro dolar ini memutuskan untuk pertama kalinya dalam sejarah negara itu melakukan pinjaman dana kepada lembaga keuangan internasional. Harga bahan makanan dan bahan bakar di sana pun mulai menaik karena subsidi dikurangi. Dan juga gaji pegawai negerinya pun sempat dipotong.

Adanya hal itu, maka menjadi tidak mengherankan bila pada waktu sekarang ini pemerintah Arab Saudi mulai gencar membuka kesempatan berangkat haji dan umrah secara besar-besaran. Targetnya pada tahun 2030 jumlah jamaah umrah naik empat kali lipat dari sekarang yang hanya 7 juta orang menjadi 30 juta orang. Begitu juga haji yang pada tahun ini jumlahnya mencapai sekitar 2 juta orang menjadi 7 juta orang.

Dan usaha peningkatan jumlah jamaah haji mulai tahun ini sudah tampak ketika pemerintah Arab Saudi gencar membuka kesempatan kepemilikan visa furodah (visa haji undangan). Visa haji yang dahulu sifatnya hanya terbatas ini karena merupakan undangan raja, kini dibiarkan lebih banyak publik mendapatkannya.

Memang, sesaat visa ini terkesan bisa menghapuskan panjangnya antrean orang Indonesia untuk berhaji yang kini sudah mencapai masa 20 tahun dengan anteran yang telah mencapai 3,3 juta orang. Dengan memiliki visa furodah maka orang yang mempunyai visa ini akan langsung bisa naik haji pada tahun ini juga, tanpa perlu harus menunggu hingga waktu yang sangat lama.

Namun, imbas adanya visa furodah akan menuai masalah baru. Sebab, hanya Muslim Indonesia yang benar-benar kaya saja yang bisa berangkat haji. Yang punya kemampuan ekonomi biasa baru bisa berangkat puluhan tahun ke depan. Atau bagi mereka yang berangkat dengan fasilitas haji khusus, mereka baru bisa berhaji sekitar 8 tahun ke depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement