Ahad 06 May 2018 07:39 WIB

Mudzakarah 2018 Pertegas Aturan Istithaah Kesehatan

jamaah haji harus mampu menjalankan ibadah yang dilakukan.

Jamaah Haji
Jamaah Haji

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kasubdit Bimbingan Jamaah Haji dari Dirjen PHU Kemenag, Endang Jumali mengatakan, istithaah kesehatan sebetulnya sudah jelas. Pembahasan istithaah kesehatan yang dilakukan di mudzakarah tahun ini hanya untuk memperkuat hasil mudzakarah tahun 2015 tentang istithaah kesehatan.

"Ketetapan layak dan tidak layak bagi seseorang (calon jamaah haji) adalah tidak lagi pada saat mereka masuk asrama, tapi sebelum jauh-jauh hari," kata Endang usai penutupan mudzakarah perhajian Indonesia tahun 2018 di Hotel Redtop, Jakarta, Jumat (4/5).

Ia menerangkan, bagi calon jamaah haji yang mengidap penyakit menular dan berdampak tidak baik kepada jamaah lain. Tentu kondisi seperti ini akan membuat calon jamah haji tersebut tidak memiliki istithaah.

Di mudzakarah tahun ini juga disepakati teknis penyampaian kepada jamaah yang kehilangan istithaah. Semestinya penyampaian tidak dilakukan petugas medis atau dokter, tapi dilakukan oleh tokoh ulama setempat. Sehingga tidak menimbulkan faktor psikis terhadap calon jamaah haji.

"Jadi forum ini memperkuat lagi, mempertegas lagi hasil mudzakarah tahun 2015 tentang istithaah kesehatan, insyaallah akan menjadi kebijakan di tahun berjalan ini," ujarnya.

Sebelumnya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Buya Gusrizal Gazahar menjadi narasumber di mudzakarah tersebut. Ia menerangkan, seluruh mazhab mengatakan orang yang menunaikan ibadah haji harus mampu fisiknya. Artinya orang tersebut harus sehat untuk menjalankan ibadah haji.

"Masalah kesehatan, ulama sepakat bahwa badan jamah yang akan melaksanakan haji itu harus mampu menjalankan ibadah yang harus dia lakukan," katanya.

Ia menerangkan, misalkan di badan jamaah yang akan melaksanakan ibadah haji ada yang menghalangi seperti sakit atau kondisi tubuh yang lemah. Dalam keadaan seperti itu maka istithaah orang tersebut hilang.

Tapi ada dua kemungkinan, pertama, istithaah bisa hilang sementara karena sakit yang diderita calon jamaah haji bisa sembuh. Kedua, istithaah bisa hilang selamanya karena sakit kronis yang secara medis tidak bisa disembuhkan.

Maka perlakuan terhadap jamaah yang kehilangan istithaah sementara dan selamanya harus berbeda. Kalau hilang istithaah hanya sementara maka yang dilakukan adalah penundaan keberangkatan sampai kemampuan orang tersebut pulih kembali.

"Tapi kalau istithaah hilang secara total, disebabkan penyakit kronis yang tidak mungkin sembuh secara medis, maka boleh mewakilkan ibadahnya kepada orang lain, artinya dibadalkan, niyabah namanya," ujarnya.

Ia menegaskan, hal ini dari sisi kajian fikih sudah tuntas dan tidak ada perbedaan pendapat lagi. Sekarang yang menjadi persoalan sikap dari penyelenggara haji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement