Rabu 09 May 2018 08:50 WIB

Ijtima Ulama Bahas Status Hukum Dana Abadi Umat

Status hukum secara syari sangat diperlukan.

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Agung Sasongko
Katib Syuriyah PBNU - Asrorun Niam Sholeh
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Katib Syuriyah PBNU - Asrorun Niam Sholeh

IHRAM.CO.ID,BANJARBARU -- Ijtima ulama komisi fatwa ke-6 Majelis Ulama Indonesia (MUI) salah satu pembahasannya tentang status hukum dana abadi umat yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Dana abadi umat sendiri adalah dana yang diperoleh dari hasil efesiensi penyelenggaraan ibadah hajji dan dana lain yang sesesuai perundang-undangan.

Pimpinan sidang dalam pembasahan ini, Asrorun Niam, mengatakan status hukum secara syari dari dana abadi umat yang besar tersebut sangat diperlukan. Karena nantinya berkaitan dengan aturan dan mekanisme pengelolaannya agar tepat secara fikih dan berdaya guna.

"Tadi disepakati bahwa dana abadi umat itu adalah dana milik kolektif jamaah, dana milik umat, bukan dana milik pemerintah", ujar Asrorun saat ditemui Republika.co.id di area Ijtima.

Oleh karena itu, lanjutnya, maka pemanfaatannya digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umat Islam. Dalam pengelolaannya, kata Asrorun, diperlukan ikhtiyar untuk kepentingan pengembangan. Sedangkan hasil daripengembangan tersebut dikembalikan lagi untuk kemaslahatan.

"Di dalam proses pengelolaan harus diperhatikan aspekmitigasi risiko agar aman pokoknya, kemudian hasilnya bisa dioptimalkan untukkepentingan kemaslahatan umat," kata Asrorun yang juga sekretaris komisi fatwa MUI pusat.

Pembahasan mengenai status dana abadi umat, berdasarkan pantauan Republika, berjalan cukup alot. Masing-masing peserta mempunyai argumen keagamaan tentang status tersebut. Diantara dari mereka ada yang berpendapat bahwa dana tersebut dapat disebut sebagai dana wakaf.

Selain itu, ada juga diantara mereka yang berpendapat bahwadana abadi umat bisa dibuat status sebagai dana hibah. Namun dengan berbagaia rgumentasi lainnya menyatakan dana abadi umat statusnya sebagai dana milikkolektif.

Asrorun menjelaskan, untuk ditetapkan sebagai dana hibah, maka diperlukan kejelasan tentang siapa yang menghibahkan dan dihibahkan kepadasiapa. Hal ini, dalam pembahasan belum menemukan titik temu.

Lalu terkait pandangan dana abadi umat bisa berstatus wakaf juga belum menemukan titik temu. Karena, tutur Asrorun, dana tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun sebagai harta wakaf. Meskipun, menurut Asrorun, dan aabadi umat mempunyai karakteristik harta wakaf, yaitu bukan kepemilikan individudan kegunaannya untuk kemaslahatan umat.

Asrorun menambahkan, meskipun harta tersebut bukan milikpemerintah, namun mereka diberikan kewenangan untuk pengelolaannya. Dalam halini undang-undang mengamanatkan pengelolaan dana tersebut terhadap BPKH.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement