Kamis 19 Jul 2018 09:52 WIB

(Bukan) Menara Babil

Allah menjadikan berbagai suku bangsa agar kita saling mengenal.

Jamaah haji Iran mengantri membeli kartu perdana lokal selepas tiba di Bandara AMA Madinah, Selasa (17/7). Tak seperti kebanyakan jamaah haji negara lain, seluruh jamaah haji pria Iran mengenakan setelan resmi ke Tanah Suci.
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Jamaah haji Iran mengantri membeli kartu perdana lokal selepas tiba di Bandara AMA Madinah, Selasa (17/7). Tak seperti kebanyakan jamaah haji negara lain, seluruh jamaah haji pria Iran mengenakan setelan resmi ke Tanah Suci.

IHRAM.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, Wartawan Republika dari Madinah, Arab Saudi

MADINAH -- “Assalamualaikum, brother!” kata seorang pria yang mengenakan shalwar kamiz, pakaian khas pria Asia Selatan, ketika saya lewat tak jauh dari terminal kedatangan Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, Senin (16/7) lalu. Janggut hitamnya lebat diselingi beberapa warna putih.

Selepas salam saya jawab, agaknya ia membaca seragam petugas saya ketika kemudian dengan bahasa Inggris terpatah-patah menanyakan kabar jamaah haji asal Indonesia. Ia berbinar saat saya bilang jamaah itu akan datang keesokan harinya.

Saya balik tanya, ia membalas dengan membolak-balikkan telapak tangan kanan, gestur khas dari India, tempatnya berasal sambil tersenyum. Hari itu, pria yang tak sempat saya tanyai namanya itu nampak sibuk mengarahkan jamaah haji negaranya. Beberapa datang dengan sari berwarna cerah kontras dengan hitam pekat abaya perempuan-perempuan Arab dan putih bersih gamis lelakinya.

photo
Jamaah haji perempuan asal Pakistan tiba di Tanah Suci, Selasa (17/7l mengenakan sejenis sari, pakaian tradisional mereka.

Sementara jamaah pria asal Iran seperti bukan hendak berangkat haji. Mereka datang dengan setelan resmi kemeja dan celana serta pantalon, bahkan beberapa dengan set jas lengkap. Lain lagi jamaah Turki yang prianya seperti mau pergi melancong ke kepulauan tropis saja dengan jeans dan kaus berkerah.

Bertugas di Daerah Kerja Bandara di Arab Saudi, salah satu pemandangan yang saya saksikan adalah datangnya jamaah dari segala penjuru bumi. Masing-masing mereka, dalam gairah sebelum menunaikan ibadah haji, berbicara dengan bahasa masing-masing.

Pada jamaah dari Asia Selatan terdengar saling berbicara Bahasa Urdu dan Hindi. Kita dari Indonesia dan Malaysia bertukar sapa dalam Bahasa Melayu. Sedangkan petugas setempat berbicara Bahasa Arab. Sementara di Tanah Suci, yang gagah-gagah dan legam kulitnya masing-masing dengan bahasa lokal Afrika yang begitu banyak itu. Ada yang berbicara bahasa Turki, ada juga Bahasa Persia.

Saya kemudian membayangkan ibadah haji jadi semacam kebalikan dari legenda Menara Babil. Apa hal?

Begini, dahulu sekali, dikisahkan dalam Kitab Kejadian ada seorang raja di sebuah kota. Dituturkan juga oleh sejarawan Muslim, Atthabari, merunut pada tradisi Yahudi dan sumber-sumber Yunani, raja itu bernama Nimrod, Penguasa Kota Babil. Saat itu, manusia masih berbicara dalam satu bahasa saja.

Nimrod kemudian membangun sebuah menara. Direncanakan dia, menara itu akan dibuat begitu tinggi, sampai ia bisa bercakap dengan Tuhan. Orang-orang Yahudi percaya YHWH, panggilan mereka untuk Tuhan, murka dan merubuhkan menara yang baru separuh jadi itu.

Tak berhenti disitu, YHWH kemudian membuat para pekerja dan warga kota itu bicara dalam 72 bahasa yang berbeda-beda, dan akhirnya memencar mereka ke seluruh penjuru mata angin. Begini bagaimana umat Nabi Musa menjelaskan asal muasal mengapa dunia tak punya satu bahasa saja.

Tapi kita, Muslim, tak percaya Tuhan membuat kita bicara, berpikir, dan memiliki pembawaan yang berbeda karena murka. Kita diwajibkan percaya ayat Alquran yang menegaskan semua itu adalah berkah agar nantinya bisa saling kenal.

photo
Menara jam di Makkah. REUTERS/Ahmed Jadallah

Nah, dalam ibadah haji, skema itu seperti dibalik. Alih-alih terserak, mereka dengan bahasa yang berbeda itu kembali lagi menuju satu titik di Arabia. Untuk sejenak, menanggalkan bahasa asal dan bertalbiyah serta berdoa dalam bahasa yang sama.

Seluruh jamaah dari rerupa bangsa yang tiba di bandara ini nantinya bakal berkumpul di Arafah dan pada satu titik pasti mencapai Makkah. Di kota itu, ada sebuah menara raksasa juga, tapi kita paham, puncaknya bukan titik paling dekat Allah. Dalam Alquran diisyaratkan, sedianya tak perlu menara-menara tinggi karena Allah lebih dekat dengan manusia ketimbang urat lehernya sendiri.

Yang jelas, pemandangan di bandara-bandara di Tanah Suci itu, terlebih saat nanti puncak ibadah haji, semacam oase di dunia yang penuh konflik saat ini. Benarlah bahwa Allah menyebut Makkah sebagai Baladil Amin, sebuah kota yang aman. Kota yang mestinya tak ada orang bersitegang di sana, terlepas bagaimanapun mereka punya kebiasaan atau bahasa di kampung halaman.

Kota di mana Surah Alhujurat ayat 13 bisa mewujud seketika dalam sekutip kalimat sederhana yang kerap sekali saya dengar di Tanah Suci dari warga berbagai bangsa, rerupa warna kulit, aneka bahasa: “Assalamu’alaikum, Indunisi?”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement