Senin 23 Jul 2018 12:38 WIB

Senja di Masjid Al Haram

.

Erdy Nasrul
Foto: dok. Pribadi
Erdy Nasrul

IHRAM.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul dari Makkah, Arab Saudi

MAKKAH -- Rombongan Media Center Haji (MCH) bergerak menuju Masjid al Haram pada Jumat (20/7) sore. Meski mentari tak lagi tepat di atas kepala, sengatannya masih begitu terasa. Kerangka kaca mata dan gelang identitas yang terbuat dari besi menghangatkan kulit kepala dan tangan. Sungguh tidak nyaman.

Namun itu tak mengendurkan semangat kami menuju masjid suci, gudang pahala bagi siapa pun yang beribadah di sana. Dalam sebuah hadist, Rasulullah menjelaskan pahala shalat di sana mencapai 100 ribu kali lipat lebih besar dibandingkan shalat di masjid lain (HR Bukhari dan Muslim).

Ketika sampai di sana, masyarakat lokal, jamaah haji dan umrah dari berbagai negara, bercampur. Ada yang duduk santai di area luar. Sebagian berjalan dari satu tempat ke lainnya. Bahkan ada pula yang membaringkan diri. Tak peduli dengan keramaian dan kesibukan masyarakat setempat, mereka dengan santainya berelaksasi: tidur-tiduran di atas lantai sambil berbincang dengan handai taulan.

Di sana kami berjalan hendak mengunjungi gerai operator kartu perdana lokal. Tapi penjaganya tidak mengizinkan masuk karena sudah memasuki waktu shalat Ashar.

Benar saja. Lima menit kemudian azan berkumandang. Ketika itu pedagang di semua tempat serentak menutup gerainya. Mereka langsung berjalan menuju Masjid alHaram. Ada yang membawa serta anak-istri. Ada pula yang berjalan bersama teman tanpa pendamping hidup, seperti kami para petugas haji.

Kami mengikuti masyarakat setempat menyucikan diri: berwudhu. Setelah itu, sambil menunggu iqamah, kami meneguk air zamzam yang disediakan sekitar tempat wudhu. Ah segar sekali. Di tengah panas menyengat, zamzam adalah penghilang dahaga tiada duanya.

Tubuh menjadi segar dan bersemangat. Tak lama kemudian iqamah menggema. Kami mendirikan empat rakat shalat ashar.

Perjalanan berlanjut melihat suasana sekitar. Di saat mentari hendak kembali ke peraduannya, masyarakat tetap saja meramaikan masjid tersebut. Para mutawif tak berhenti memutari baitullah, Ka’bah, bangunan yang dipugar bapak para nabi, Ibrahim alaihis salam. Di pinggiran pilar-pilar masjid, tampak kaum Muslimin beritikaf mengagungkan asma Allah.

Ada yang menangis tersedu merenungkan dosa dan mengekspresikan kerinduannya mengunjungi rumah Allah. Ada pula yang mengangkat kedua tangan, bermunajat, mengutarakan keinginannya sambil bermanja di hadapan Ilahi Rabbi.

Tempat sa’i (mas’a) juga tak pernah sepi. Tempat itu selalu ramai orang berjalan dan berlari kecil setiap waktu. Luar biasa. Ini adalah fenomena yang tak ditemukan di masjid-masjid Tanah Air. Unik dan menyentuh hati.

Semua itu tak luput dari pantauan teman-teman MCH. Ada yang mengabadikan fenomena itu dalam bentuk rekaman video dan foto. Kemudian menyebarluaskannya dalam bentuk berita di media cetak dan elektronik.

Di luar masjid, pusat perbelanjaan tetap buka hingga malam hari. Di saat cahaya sang surya kian redup, gerombolan burung merpati beterbangan melewati al Haram, mengacuhkan menara-menara masjid tersebut yang berdiri tegak bagai penjaga.

Waktu begitu cepat berlalu. Senja tenggelam. Kami duduk di sekitar menara zamzam, berbincang merencanakan reportase yang akan datang. Di tengah pembicaraan, teman-teman datang membawa ruthob, kurma muda. Masih dingin, baru dibeli dari sebuah tempat belanja.

Sambil mendengarkan pembicaraan teman-teman, saya menyicipi hasil pertanian tadi. Ketika sampai di mulut, gigi mudah sekali membelah serat-serat buah kesukaan Rasulullah itu. Rasa manis gurih khas kurma seketika memenuhi mulut.

Masya Allah. Pikiran saya tak lagi fokus terhadap pembicaraan teman-teman. Tak ada komentar. Hanya anggukan demi anggukan yang saya ekspresikan kepada teman-teman, sambil terus mengunyah ruthob lagi dan lagi.

Panas saat itu masih terasa menghangatkan badan. Suhu mencapai 38 derajat celsius. Tapi sudahlah.

Itu tak mengganggu kenyamanan, karena ada ruthob yang menemani dan menghangatkan kebersamaan. Biarlah panas mengganggu orang lain, tapi tidak saya yang menikmati buah Rasulullah, sahabat, ulama, dan jutaan Muslim dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement