Selasa 24 Jul 2018 15:30 WIB

Menjadi Mukmin yang Kuat

Tentu saja orang yang kuat lebih baik kualitas ibadahnya daripada mereka yang lemah.

Haji
Haji

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Derajat keimanan dan ketakwaan seseorang ternyata tidak sama di hadapan Allah SWT. Sebagaimana berlaku di berbagai golongan dan kelompok, levelisasi keimanan pada orang beriman juga terjadi.

Contohnya, pada institusi kepolisian. Kendati sama-sama anggota polisi dan memakai seragam yang sama, pangkat masing-masing mereka tidaklah sama. Ada yang jenderal, komandan, dan ada pula yang prajurit.

Demikian pulalah yang terjadi pada keimanan setiap orang beriman. Kendati sama-sama orang beriman, di hadapan Allah ada level-level keimanan yang diraih seseorang. Orang beriman yang paling tinggi derjatnya adalah mereka yang paling dicintai oleh Allah SWT. Semakin dekat ia dengan Allah, semakin tinggilah derajat keimanannya.

Lalu, siapakah mereka yang paling dicintai Allah itu? Hadis dari Abu Hurairah RA menyebutkan, "Orang beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT daripada orang beriman yang lemah dan pada keduanya ada kebaikan." (HR Muslim).

Tentu saja orang yang kuat lebih baik kualitas ibadahnya daripada mereka yang lemah. Secara logika saja, orang yang kuat secara fisik akan lebih mampu untuk memperbanyak intensitas dan kualitas ibadah ketimbang orang yang lemah.

Orang yang kuat secara ekonomi akan mampu berinfak dan bersedekah lebih banyak ketimbang orang yang perekonomiannya lemah. Jadi, salah satu upaya untuk meraih kecintaan Allah dan menggapai derajat keimanan yang lebih tinggi adalah dengan menjadi mukmin yang kuat.

Lantas, kuat seperti apakah yang dimaksudkan dalam hadis tersebut? Imam Nawawi mendefinisikan kuat dalam Hadis Riwayat Muslim tersebut adalah kuatnya tekad untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah SWT. Sudah menjadi karakter dan tabiat bagi orang beriman untuk berlomba-lomba memburu kebaikan dan ketaatan kepada Allah.

Para sahabat Nabi SAW selalu mencari tahu, apa sunah Nabi mereka yang belum sempat mereka kerjakan. Jika ada momentum melakukan kebaikan, mereka tak ingin ketinggalan, apalagi mengabaikannya.

Inilah yang didefinisikan para ulama bahwa levelisasi keimanan dikelompokkan pada tiga kelompok besar. Pertama, mereka yang termasuk pada kategori as-Sabiquna bil khairat (golongan yang senantiasa bergegas melakukan kebaikan). Mereka yang termasuk pada golongan ini adalah mereka yang senantiasa menyibukkan diri melakukan hal yang wajib dan yang sunah.

Tidak hanya itu, mereka berupaya meninggalkan seluruh yang haram, bahkan yang makruh. Mereka senantiasa bertekad untuk menyempurnakan amalan-amalan yang dianjurkan.

Kedua, golongan al-Muqtashidun (golongan pertengahan), yakni mereka yang merasa cukup dengan mengerjakan yang wajib-wajib saja serta meninggalkan perkara-perkara yang haram. Sedangkan, yang ketiga, az-Zhalimuna li anfusihim (golongan yang menzalimi diri sendiri), yakni mereka yang mencampuradukkan perbuatan yang baik dengan perbuatan yang keji.

Mereka yang termasuk dalam as-Sabiquna bil khairat tak ingin melewatkan sekecil apa pun kesempatan untuk menunaikan kebaikan. Misalnya, ketika menjelang Perang Tabuk, sekelompok orang miskin di Madinah datang menemui Rasulullah SAW. Mereka memohon untuk disertakan jua pergi berperang. Namun, karena keterbatasan ekonomi, mereka tak berkesanggupan membeli baju perang.

Untuk ikut berperang, memang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Mulai dari peralatan perang, baju pelindung, sampai bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Semua harus tercukupi dengan baik.

Orang-orang miskin tersebut akhirnya tak diizinkan Rasulullah untuk ikut ke Perang Tabuk. Alasannya, Rasulullah SAW tak bisa menyediakan peralatan perang untuk mereka. Hal yang tidak mungkin untuk mengizinkan mereka ikut terjun ke kancah perperangan tanpa dilengkapi persenjataan dan baju pelindung. Kendati menjadi syahid adalah cita-cita para mujahid, tidak serta-merta pula seorang mujahid harus ‘konyol’ memasuki medan pertempuran.

Setelah upaya mereka tak jua mendapat izin Rasulullah SAW untuk ikut berperang, kelompok orang miskin tersebut menangis. Mereka kecewa alang-kepalang karena mereka tak mendapat kesempatan untuk beramal saleh. Begitulah kelompok as-Sabiquna bil khairat yang senantiasa memburu amal saleh.

Bagaimana halnya orang-orang yang mengaku beriman pada zaman sekarang. Justru mereka merasa bersyukur ketika mendapat peluang tidak berkontribusi dalam kerja-kerja positif. Mereka bersyukur kalau mereka luput dari kesempatan beramal saleh. Kalau bisa, mereka tak ditagih untuk mengeluarkan zakat. Bersyukur tidak kebagian jatah untuk ronda di kompleks. Bahagia bisa mendapatkan kesempatan tidak ikut shalat Tarawih atau Tahajud dan larut dalam tontonan Piala Dunia. Lantas, apakah kita akan bangga juga tidak digolongkan sebagai orang-orang beriman?

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement