IHRAM.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami dari Madinah, Arab Saudi
MADINAH -- Tepat jarum pendek di angka enam dan jarum panjang di angka 12 pada pagi hari, payung-payung raksasa di Masjid Nabawi perlahan terbuka. Buat banyak orang yang baru pertama kali ke Madinah, ia jadi kecanggihan arsitektur yang memukau.
Tak sedikit yang tak bisa bergeming sembari menyaksikan kejadian itu. Tak ingin kehilangan momen, mereka merogoh ke dalam tas selempang atau saku celana kemudian mengeluarkan telepon genggam masing-masing. Seperti jamak di pertunjukan musik zaman sekarang, mereka kemudian merekam video atau mengambil gambar. Sebagian lainnya pasang muka ceria berswafoto.
Betapa pun sakralnya, Masjid Nabawi tak bisa menutupi dirinya dari penetrasi teknologi informasi. Mau kata di Raudhah yang dijaga ketat para askar itu, ada saja telepon genggam pintar yang dikeluarkan jamaah. Hanya turun jika diperingatkan. Larangan swafoto yang beberapa waktu lalu dilansir kerajaan juga tak mempan membatasi gairah jamaah.
Kita bayangkan, gambar dan video yang ditangkap jamaah, serta foto diri mereka dengan latar lokasi-lokasi sakral akan lekas beredar di sosial media. Mungkin disertai doa-doa, yang ironis mengingat para pengunggah sedianya berada di tempat dimana doa-doa dikabulkan.
Sebagai pewarta yang juga harus mengirim gambar dan naskah ke kantor nun di Jakarta, saya tak bisa menghakimi. Teknologi membuat jauh lebih mudah membagi kabar untuk pembaca budiman di Tanah Air.
Yang dilakukan sekutip jamaah itu mengingatkan perihal dunia yang kita tinggali saat ini. Zaman ketika sedemikian lekasnya aliran data, alih-alih memendekkan jarak, malah membuat manusia-manusia kian terasing.
Bukannya bikin baku baik, internet membuat sebagian penggunanya senang saling sindir sambil menekankan golongannya yang paling benar. Mendorong polarisasi yang kian kemari kian membelah-belah masyarakat, bikin renggang pertemanan.
Namun, di Madinah, saya juga berjumpa dengan Pak Ahmadi dari Bukittinggi. Pada pagi hari, Selasa (24/7), saya melihatnya tengah duduk persis di luar gerbang Masjid Nabawi. Di tangannya, ada sejenis roti Arab dan saus celup. Roti itu, kata dia, pemberian warga tempatan yang memang pada musim-musim haji macam ini kerap terlihat membagi-bagikan makanan dan minuman gratis untuk jamaah.
Duduk di samping Ahmadi, seorang jamaah sepuh dari Asia Selatan. Tak saling mengerti bahasa masing-masing, mereka saling menawarkan makanan yang dipegang, saling menolak dengan sopan, dan makan berdampingan.
Pemandangan seperti itu jamak di Madinah. Jauh lebih sering kelihatan ketimbang jamaah yang sibuk dengan telepon genggam sendiri. Ia membuat Tanah Suci semacam jadi oase di tengah gurun pasir relasi manusia yang kian gersang oleh teknologi.
Tempat untuk sejenak mengasingkan diri dari media sosial dan banjir informasi dunia maya. Tempat untuk belajar berkenalan lagi dengan manusia-manusia dalam wujud fisik mereka, bukan sekadar mem-follow akun Twitter, Instagram, atau Facebook.
Interaksi-interaksi antarmanusia yang demikian mengharukan di Madinah meyakinkan saya, seberapa pun canggih nantinya teknologi komunikasi jarak jauh dicapai manusia, ia tak akan bisa menggantikan banyak hal. Seperti indahnya menjabat tangan saudara-saudara jauh, berpelukan, menatap matanya yang kadang berwarna hijau, beberapa biru, hitam, atau cokelat tua, sembari bertanya dengan tulus… “Apa kabar?, kaifa haluk?, how are you?”