IHRAM.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami dari Jeddah, Arab Saudi
JEDDAH -- Sebut saja namanya Ibu Ria. Pada Rabu (1/8), ia nampak berjalan-jalan kesana-kemari di Bandara King Abdulaziz, Jeddah. Para petugas haji Indonesia di bandara hanya bisa menguntitnya sembari mencoba memberikan penjelasan.
Persoalannya, Ibu Ria sama sekali tak mengerti. Ia hanya bisa berbicara dalam bahasa kampung halamnnya di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Di antara para petugas hanya ada yang bisa berbicara bahasa Sasak yang awam digunakan di Lombok.
Petugas kemudian mencoba menghubungi sejumlah orang di kloternya, hasilnya nihil. “Mereka dari Bima yang bahasanya juga lain dari ibu ini,” kata pelaksana seksi Perlindungan Jamaah Daker Bandara, Maspilu, hari itu.
Para petugas kesehatan biasanya memiliki anggota yang memiliki kemampuan khusus menenangkan jamaah secara psikologis. Upaya itu juga kandas terkendala bahasa. Mau tak mau, sang ibu dari NTB tersebut harus dilarikan paksa ke Makkah.
Kejadian semacam itu bukan sekali-dua kali terjadi di Tanah Suci sepanjang kedatangan jamaah pada musim haji kali ini. Di Masjid Nabawi, tak jarang para petugas kebingungan dengan jamaah yang sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia.
Persoalannya tak sedemikian pelik jika bahasa yang dikuasai jamaah bersangkutan adalah bahasa yang jamak di provinsi masing-masing seperti Bahasa Batak, Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Sasak, Bahasa Bugis, atau Bahasa Banjar. Toh, para petugas memang dipilih dari berbagai provinsi dengan kemampuan berbahasa utama tersebut.
Namun, yang berangkat haji bukan hanya dari penguasa bahasa-bahasa utama tersebut. Tak sedikit jamaah hanya bisa berbahasa Madura, atau bahasa-bahasa di daerah tepian Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat.
Ironisnya, kendala bahasa dengan jamaah mancanegara lebih mudah dihadapi ketimbang jamaah Indonesia dari pedalaman yang tak bisa berbahasa Indonesia. “Saya pernah mengantar jamaah Cina yang tersesat menggunakan aplikasi Google Translate,” kata Dewi Indah Ayu, seorang petugas PPIH Arab Saudi yang ditempatkan di Madinah. Demikian juga kisah Fuad Fariz, seorang petugas MCH PPIH Arab Saudi yang berulang kali membantu jamaah asal Turki.
Jika ditilik dari latar belakang pendidikan, persentase tertinggi jamaah Indonesia pada gelombang pertama hingga awal gelombang kedua kedatangan juga merupakan lulusan SD/MI sebesar 33,34 persen atau sebanyak 29.295 orang. Sedangkan lulusan SMP/MTs sebanyak 10.233 (11,65 persen), lulusan SMA/MA/SMK sebesar 23,95 persen atau setara dengan 21.045 orang. Jamaah yang merampungkan pendidikan jenjang diploma dan sarjana relatif kecil. Hanya 5.564 lulusan D1-D4, lulus S1 sebanyak 18.423 orang (20,97 persen), S2 ada 2.777 orang (3,16 persen), S3 ada 169 orang (0,19 persen), dan pendidikan lainnya 357 orang.
Berpuluh-puluh tahun lalu, para pemuda penggagas kemerdekaan Indonesia telah menyatakan sumpah untuk berbahasa satu, Bahasa Indonesia. Di Tanah Suci, sumpah itu belum terpenuhi seluruhnya. n