Pagi itu, sembari mengobrol dengan asyik, melepas tawa, sebagian mereka juga melempar kail ke laut. Tak penting betul dapat ikan atau tidak. Rokok, kopi, dan kawan-kawan untuk saling berbagi cerita agaknya lebih utama.
“Saya sudah lupa-lupa ingat waktunya, tapi dahulu di sana kapal-kapal yang membawa jamaah Indonesia berlabuh,” kata Ali yang asli warga tempatan dalam bahasa Arab. Telunjuk pria yang mendaku sudah lima kali berkunjung ke Indonesia itu menunjuk ke arah pelabuhan peti kemas Jeddah. Saat ini, kapal-kapal raksasa yang bersandar. Alih-alih jamaah haji, kargo-kargo berisi produk-produk dari seluruh penjuru dunia yang turun ke pelabuhan.
Thalhah, yang nampaknya paling tua di antara mereka menuturkan, saat musim haji seperti sekarang, keadaannya ramai di kawasan tersebut. Tak hanya dari Indonesia, jamaah haji dari berbagai penjuru dunia juga datang melalui pelabuhan di tepian Laut Merah tersebut. Ia mengenang, jamaah Indonesia kala itu disukai warga Jeddah karena keramahan mereka.
Kondisi Madinatul Hujjaj di Jalan King Khalid, Jeddah, Kamis (2/8). Bangunan tua yang tak terurus itu sempat jadi lokasi singgah jamaah haji Indonesia di masa lalu sebelum bertolak ke Makkah atau Madinah.
Jamaah haji Indonesia terakhir kalinya menggunakan kapal ke Tanah Suci pada akhir 1970-an. Saat itu, pemerintah sudah memfasilitasi penerbangan ke Tanah Suci menggunakan pesawat yang disewa dari perusahaan Belanda. Meski berhaji dengan pesawat sudah bisa dilakukan pada 1950-an awal, baru pada dekade 70-an harga antara kedua moda perjalanan tak begitu jauh selisihnya. Pada 1979, tak ada lagi jamaah Indonesia datang ke Tanah Suci dengan kapal laut.
Ke mana jamaah haji Indonesia setibanya di pelabuhan Jeddah pada masa lalu? Aa Abdul Hadi seorang mukimin asal Tasikmalaya yang tinggal di Jeddah sejak pertengahan 1990-an menuturkan, mereka akan ditempatkan sementara di pemondokan transit di tengah kota Jeddah. Abdul Hadi datang ke Jeddah pada tahun-tahun terakhir digunakannya pemondokan tersebut guna menampung jamaah yang sudah tiba menggunakan pesawat terbang.
Untuk mencapai lokasi tersebut, dengan jalan Jeddah yang berliku-liku dan satu arah seperti sekarang perlu setengah jam lebih dari pelabuhan. Lokasi bangunannya terletak di tepi jalan King Khalid. Bangunan yang didirikan Raja Abdulaziz Alsaud pada 1950-an itu mengular hampir 500 meter selebar 50 meter setinggi rata-rata lima lantai.
Mulanya, gedung itu disinggahi jamaah dari berbagai negara seperti Mesir dan negara-negara Asia Selatan. Pada 1960-an, gedung itu diserahkan pengelolaannya pada pemerintah Indonesia dan menampung jamaah Indonesia dan Malaysia.
Setengah kilometer cat-cat terkelupas, besi-besi berkarat, jendela-jendela rusak, dan gerbang-gerbang berdebu. Seturut luas dan panjangnya, bangunan itu diberi nama Madinatul Hujjaj, alias Kota para Haji. Sekarang ia terabaikan, kecuali sebuah gedung tak jauh dari ujung tenggara bangunan masif tersebut. Pada masa jayanya, tak kurang 20 ribu jamaah bisa ditampung di sana.
Kondisi Gedung Mainatul Hujaz, Jeddah masa kini.
Kontras dengan lalu-lalang kendaraan di jalanan, bangunan itu sepi dan tak terurus. Di tingkat-tingkat atas, nampak jemuran-jemuran para pekerja kasar dari Asia Selatan. “Dulu, kalau musim haji, di tepi jalan sini banyak penjual makanan dari Indonesia,” kata Abdul Hadi.
Musim haji, kata dia, biasanya digunakan orang Indonesia yang bermukim di Jeddah untuk mengais rejeki. Berjualan bakso, lotek, dan rerupa panganan khas Tanah Air. Sebagian juga berjualan kamera saku dan rol film, dua hal yang sama sekali sudah tak nampak di Jeddah yang kian modern.
Di dalam pemondokan tersebut, jamaah haji ditumpuk dalam satu kamar. Ia ingat, saat menengok saudara yang beribadah haji, pendingin udara yang dipasang di masing-masing kamar tak mempan menolak cuaca panas Jeddah. Saat ini, kotak-kotak pembuangan pendingin-pendingin udara itu kian nampak tak berguna dari luar gedung.
Jamaah Indonesia tinggal di pemondokan tersebut maksimal sepekan sebelum diberangkatkan ke Makkah untuk menunaikan haji, lalu ke Madinah untuk menziarahi Masjid Nabawi. Menjelang kepulangan, mereka akan kembali ditempatkan di pemondokan tersebut untuk menunggu kapal atau pesawat pulang ke Tanah Air.
Sejak awal milenium ini, jamaah Indonesia tak lagi singgah di Madinatul Hujjaj. Mereka diinapkan di hotel-hotel transit yang lebih “manusiawi” sebelum ke Tanah Suci. Sebagian langsung ke Makkah, dan yang datang lebih awal ke Madinah lebih dulu.
Sejak Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz beroperasi pada 2015 lalu, jamaah gelombang awal langsung ke Madinah dan gelombang kedua langsung ke Makkah setelah tiba di Bandara King Abdulaziz, Jeddah. Yang tersisa di pelabuhan Jeddah, hanya kenangan soal keriuhan jamaah dari berbagai negara buat Ali, Thalhah, Amin, dan rekan-rekan mereka.
Kondisi depan Madinatul Hujaz Jeddah masa sekarang.