Selasa 14 Aug 2018 09:06 WIB

Kegigihan Jamaah Tanah Air

Jamaah Indonesia tetap gigih dengan segala keterbatasan.

Fitriyani Zamzami
Foto: dok. Pribadi
Fitriyani Zamzami

IHRAM.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami dari Jeddah, Arab Saudi

JEDDAH -- Ada seorang jamaah lansia dari Aceh Besar yang saya temui di Bandara King Abdul Aziz (KAA), Jeddah, pada akhir pekan lalu. Ceritanya, saya menyaksikan nenek tersebut didorong di kursi roda oleh seorang petugas sejak di Plaza Gerbang D.

Ia tak muda lagi, wajah dan tangannya yang tak tertutupi pakaian ihram putihnya kentara betul. Sudah sukar berjalan jauh agaknya. Ada putrinya menemani ke Tanah Suci dari Tanah Air. Sekitar 20 meter ia didorong, tibalah di depan pintu bus.

Tangga menuju bagian dalam bus terbilang curam, terdiri atas undakan yang masing-masing tingginya selutut orang dewasa. Bukan sekali dua kali jamaah yang lemah jatuh dan terluka di situ.

Tergerak, saya dan seorang pekerja setempat menawari menggendongnya ke dalam bus. Biasanya jamaah jarang menolak bantuan seperti itu.

Namun, saat mendekat dan menjulurkan tangan, gestur sang nenek menolaknya. Kedua telapaknya ia lebarkan dan hadapkan ke arah kami.

"Mengapa Nek? Mau kami tolong naik ke atas?" kata saya.

Sembari tersenyum, ia berkata singkat, "Saya sudah ambil wudhu". Seturut mahzab yang dipakai kebanyakan orang di Indonesia, sentuhan dengan lawan jenis yang tak punya hubungan keluarga langsung alias yang bukan muhrim atau suami-istri sekalipun memang dianggap bisa membatalkan wudhu, apa pun alasannya.

photo
Pekerja Mesir membantu jamaah haji Indonesia menaiki bus di Bandara King Abdulaziz, Jeddah, Sabtu (11/8). Ratusan pekerja tersebut bekerja di bandara-bandara Arab Saudi dengan harapan bisa ikut menunaikan haji.

Ada wilayah remang yang sedianya bisa kami gunakan. Misalnya, saya menyentuh pakaiannya saja dan tak langsung menyentuh kulitnya saat membantu. Atau, seperti yang saya sampaikan juga kepadanya hari itu, sang nenek bisa mengambil tayamum lagi dalam bus. Namun, ia bergeming. Ia memilih mencoba naik sendiri lebih dulu.

"Bismillah," kata dia sembari memulai langkah goyahnya menaiki tangga bus. Satu berhasil, kemudian dua, tiga, empat, dan lima undakan ia lalui dengan pelan sekali. "Allahu akbar," kata dia begitu rebah ke tempat duduk dalam bus.

Kita sudah akrab dengan cerita kegigihan perempuan Aceh. Ada Laksamana Keumalahayati, pelopor admiral perempuan yang meluluhlantakkan banyak kapal kolonial bersama pasukan Inong Balenya pada abad ke-16 Masehi.

Ada para sultanah Samudra Pasai, seperti Nahrasiyah, Safiatuddin, Inayat Zakiatuddin, dan Naqiatuddin. Ada Fakinah, panglima perang dan ulama besar Aceh abad ke-19 Masehi. Ada Cut Nyak Dien dan Cut Meutia, para pahlawan perang nasional.

Tetap saja, saya luar biasa tersentuh dengan adegan di bandara itu. Menengok kegigihan perempuan tua ini, jauh lebih meninggalkan kesan dibanding membaca kisah-kisah heroik di buku atau layar gawai. Bagaimana nenek dari Aceh Besar itu mempertahankan prinsip yang ia yakini benar membuat saya malu seketika.

Bukan hanya ia sendiri, saya juga menemui seorang jamaah laki-laki dari Makassar yang menolak saat ditawari kursi roda dan memilih berjalan sendiri meski tertatih karena usia. Ia meminta kursi roda itu untuk jamaah lain yang lebih membutuhkan.

Setiap tiba musim haji macam begini, pembaca barangkali kerap terpapar kisah soal lemahnya sebagian jamaah Indonesia. Soal berapa banyak yang sakit, yang berpulang, yang harus ditandu, yang harus dibimbing dan digendong, serta yang kewalahan menghadapi cuaca dan situasi di Tanah Suci.

Namun, ini bukan kisah sepenuhnya, jauh malahan. Adapun yang hilang dari narasi itu adalah kegigihan dan ketegaran jamaah.

Mereka, terlepas kondisi tubuh yang aus digerogoti waktu, tetap mencoba tegak berdiri dengan gagah dan bermartabat menghadapi apa pun yang menjelang saat berupaya memenuhi panggilan Allah.

Saya kerap melihat jamaah dari negara lain datang ke Tanah Suci dengan gagah dan postur yang lebih prima. Namun, mengingat nenek dari Aceh itu, saya kira justru di situ istimewanya jamaah Indonesia yang tetap gigih dalam rerupa keterbatasan. Dalam satu dan banyak hal, menjadi kebanggaan tersendiri menyebut mereka saudara sekampung halaman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement