Selasa 21 Aug 2018 16:25 WIB

Masjid Al-Ghamamah, Tempat Rasul Memimpin Shalat Id

Lokasi ini terletak sekitar 300 meter dari Masjid Nabawi.

Jamaah melintasi Masjid Ghamamah tak jauh dari Masjid Nabawi di Madinah, Kamis (26/7). Masjid tersebut berlokasi di tempat Rasulullah SAW melaksanakan shalat meminta hujan yang kemudian memicu berkumpulnya awan (ghamamah) di langit Madinah kala itu.
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Jamaah melintasi Masjid Ghamamah tak jauh dari Masjid Nabawi di Madinah, Kamis (26/7). Masjid tersebut berlokasi di tempat Rasulullah SAW melaksanakan shalat meminta hujan yang kemudian memicu berkumpulnya awan (ghamamah) di langit Madinah kala itu.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam di seluruh dunia mempunyai dua hari raya, yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri dilaksanakan setiap 1 Syawal setelah sebulan melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Sedangkan, Idul Adha diperingati setiap 10 Dzulhijjah, yakni sehari setelah jamaah haji melaksanakan wukuf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijjah.

Idul Adha diperingati sebagai bentuk kebahagiaan setelah dan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan. Dalam surah Al-Kautsar Allah berfirman, Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya, orang yang membenci kamu adalah orang yang terputus. (QS Al-Kautsar [108]: 1-3).

Kedua shalat hari raya (Id) ini disunnahkan untuk dilaksanakan di lapangan terbuka atau di masjid. Sebab, yang demikian itulah dilakukan Rasul SAW setiap tiba hari raya. Dan, salah satu tempat yang biasa digunakan oleh Rasulullah SAW mendirikan shalat Id adalah di lapangan yang terletak di kawasan al-Manakha.

Lokasi ini terletak sekitar 300 meter dari Masjid Nabawi. Sebagai bentuk penghormatan atas kebiasaan Rasul SAW mendirikan shalat di tempat tersebut, didirikanlah sebuah masjid yang diberi nama Masjid Al-Mushalla, yakni masjid tempat shalat. Di Masjid inilah Rasul mendirikan shalat Idul Fitri atau Idul Adha. Abu Hurairah berkata, Setiap kali Rasulullah melalui Al-Mushalla, Baginda akan menghadap ke arah kiblat dan berdoa.

 

Masjid Al-Musalla yang sekarang dikenal sebagai Masjid Al-Ghamamah terletak di sebelah timur Madinah, yaitu berhadapan dengan Pasar Tamar sekarang. Letak masjid ini berdampingan dengan Masjid Nabawi di sebelah barat. Dari arah Babus Salam, bila kita melihat ke arah barat akan terlihat masjid yang memiliki kubah-kubah kecil. Warnanya kelabu dan berkubah putih.

Disebut dengan Al-Mushalla yang berarti tempat shalat karena Rasulullah mengerjakan shalat hari raya di sekitar kawasan terbuka, yang menjadikan kawasan ini sebagai tempat khas shalat hari raya. Konon, peristiwa itu terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Karena itu, masjid ini memiliki sejarah penting dalam kehidupan umat Islam.

Menurut riwayat, Khalifah Umar bin Khattab adalah orang yang membangun masjid ini persis di tempat shalat Nabi SAW. Adapun bangunan masjid yang ada sekarang ini adalah peninggalan pembangunan Sultan Abdul Majid al-Utsmani. Masjid ini pernah direnovasi kembali pada masa Raja Fahd (1411H).

Awan mendung

Selain disebut sebagai Al-Mushalla, masjid ini juga dinamakan dengan Masjid Al-Ghamamah. Kata Al-Ghamamah artinya adalah awan yang menaungi (mendung). Menurut sejumlah riwayat, di tempat inilah Rasul mendirikan shalat Istisqa’, yakni shalat yang didirikan untuk minta hujan kepada Allah. Permintaan Nabi SAW itu langsung dikabulkan Allah. Begitu Nabi SAW selesai berdoa, awan-awan (al-Ghamamah) datang, lalu turunlah hujan lebat. (Khalil Ibrahim Malla Kathir, Fadhail al-Madinah al-Munawarah cetakan ke-1 jilid II [Madinah: Maktabah Dar at-Turats, 1993], hlm 100).

Tentu saja, hujan yang dimaksudkan adalah hujan yang memberi rahmat bagi umat manusia. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dan, Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah [2]: 22).

Apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Apakah mereka tidak memperhatikan? (QS As-Sajadah [32]: 27).

Ayat serupa juga terdapat dalam surah Ibrahim [14] ayat 32, Ar-Rum [30]: 48, Al-Fathir [35]: 27, Thaha [20]: 53, Al-Jatsiyah [45]: 5, Al-Anfal [8]: 11, dan masih banyak lagi. n

Mengambil Hikmah dari Setiap Peristiwa

Banyak tempat atau lokasi yang disebutkan dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Penyebutan tempat-tempat tersebut tentu saja bertujuan agar umat Islam senantiasa mengambil pelajaran.

Misalnya, Sodom dan Gomorah, tempat diazabnya kaum Nabi Luth AS; Madain Saleh, yakni tempat tinggal kaum Nabi Saleh AS; dan Madyan, tempat dakwah Nabi Syuaib AS. Begitu juga dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, adapula sejumlah tempat yang ada di Madinah, seperti Masjid Quba, Qiblatain, Masjid Al-Ijabah, Masjid Al-Jumu'ah, dan Al-Ghamamah.

Penyebutan tempat tersebut bukan untuk dijadikan tempat keramat yang tanah dan bahan bangunannya dapat membawa berkah bagi kehidupan. Sungguh bukan untuk itu. Tempat itu pun tidak hanya untuk dijadikan museum obyek pengkajian dan penelitian sejarah. Lebih dari itu semua, tempat-tempat tersebut hendaknya menjadi penggerak atau pemicu bagi umat untuk meneladani sisi-sisi kenabian Rasulullah SAW dan kepahlawanan para sahabat-sahabat Rasul. Inna fii dzaalika la'ibratan li ulil-abshar. (Pada yang demikian itu, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berfikir, atau ‘Ulil Abshar’).

Jadi, mempelajari sejarah Islam, termasuk lokasi yang disebutkan, pada hakekatnya adalah untuk mempelajari Islam itu sendiri, sebab sejarah Islam mencerminkan Islam dalam realita kehidupan. Interpretasi Islam terhadap sejarah berasal dari konsep Islam tentang alam, kehidupan, dan manusia. Berdasarkan iman kepada Allah SWT, nilai atau keunggulan paling utama sejarah Islam dari sejarah universal adalah adanya pengaruh wahyu Ilahi pada sejarah Islam. Karenanya, upaya distorsi dan/atau salah interpretasi terhadap sejarah Islam berarti distorsi terhadap agama Islam itu sendiri.

sumber : Jurnal Haji Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement