Jumat 07 Sep 2018 16:37 WIB

Hukum Safari Wukuf

Tak dapat dimungkiri, tidak semua jamaah haji mampu melaksanakan wukuf.

Kapuas Haji Kementerian Kesehatan, Eka Jusuf Singka menjelaskan sebanyak 103 jamaah haji Indonesia mengikuti safari wukuf.   Sedangkan 135 jamaah haji dinyatakan harus badal karena sakit parah. Sedangkan untuk jemaah yang meninggal dunia, petugas PPIH akan membadalkan hajinya.
Foto: Republika/Nashih Nasrullah
Kapuas Haji Kementerian Kesehatan, Eka Jusuf Singka menjelaskan sebanyak 103 jamaah haji Indonesia mengikuti safari wukuf. Sedangkan 135 jamaah haji dinyatakan harus badal karena sakit parah. Sedangkan untuk jemaah yang meninggal dunia, petugas PPIH akan membadalkan hajinya.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA --  Tak dapat dimungkiri, tidak semua jamaah haji mampu melaksanakan wukuf dengan sendiri karena faktor usia lanjut, gangguan kesehatan, dan keadaan tertentu. Pelaksanaan wukuf bagi mereka dilakukan dengan safari wukuf.

Safari wukuf yang dimaksud adalah memberangkatkan jamaah haji yang sakit ke Padang Arafah untuk menunaikan ibadah wukuf karena tidak mampu melak sanakannya secara mandiri. Ibadah wukufnya dilaksanakan secara singkat dan tetap berada dalam kendaraan.

Ijtima Ulama MUI 2018 menjelaskan, jamaah haji yang berhak disafariwukufkan ialah jamaah haji yang menderita sakit fisik dan/atau mental serta masih memungkinkan untuk melaksanakan wukuf, meski dengan bantuan.

Menurut ijtima, hukum melaksanakan wukuf baginya wajib dengan cara disafariwukufkan. Sementara, jamaah haji yang sakit dan tidak memungkinkan untuk disafariwukufkan ialah menderita penyakit berat yang dikhawatirkan akan mengancam keselamatan jiwa atau akan mem perberat penyakitnya, menderita penyakit menular yang mengancam jiwa orang lain, hingga hilang akal.

Sementara, jamaah yang memiliki uzur syar'i yang tidak memungkinkan disafariwukufkan sebagaimana persyaratan di atas, hajinya dibadalkan. MUI berlandas pada dalil Alquran. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), (sembelihlah)korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepala- mu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban.

Apabila kamu telah (merasa)aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Namun, jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), wajib ber puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah 10 (hari) yang sempurna. Demi kian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang- orang yang bukan penduduk Kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.(QS al Baqarah: 196).

Muhammad Mukhtar al Syinqithi dalam kitab Syarh Zaad al Mustaqna menjelaskan, orang yang terkena musibah sakit di tengah melaksanakan haji tidak bisa dihukumi seperti orang `muhshar (terhalang oleh musuh). Dia harus tetap berihram sampai sembuh. Jika sembuh ada dua keadaan; pertama, masih menemui waktu wukuf, harus melakukan wukuf dan menyempurnakan manasik. Kedua, telah lewat waktu wukuf, dia bertahalul untuk umrah, membayar dam, dan mengulang hajinya di tahun berikutnya. Baik haji wajib maupun haji sunah.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement