Ahad 16 Sep 2018 12:32 WIB

Jejak Lagu: Dari Nasionalisme Hingga Propaganda Politik

Di barat ada irama jazz, blues, rastra. Dari Indonesia disumbangkan irama dangdut.

Model memerankan sosok WR Supratman saat pembukaan pameran Sukarno: Besar bersama Rakyat di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (22/8).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Model memerankan sosok WR Supratman saat pembukaan pameran Sukarno: Besar bersama Rakyat di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (22/8).

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Semai dan bangkitnya perjalanan sebuah bangsa memang bisa ditelusuri dari kehadiran sebuah lagu. Lagu kebangsaan Inggris, Ameria Serikat, hingga Prancis, bahan Indonesia, pin sebenarnya terkait dengan jatuh bangunnya serta mimpi dan cinta-cita warga negara itu.

Lagu Kebangsaan Amerika Serikat misalnya tercipta dengan latar belakang persang sipil yang merebak di negara itu. Tepatnya, ide tercipa pada sebuah malam itu, saat hujan turun pada tanggal 13 September 1814, oleh seorang pengacara berusia 35 tahun yang bernama Frances Scott Key. Kala itu dia sedang bernegoisasi untuk melepaskan seorang tahanan Amerika.

Gambar warna dan bintang yang ada di bendera negaranya terekam dalam melihat rentetan peluru yang dimuntahkan pasukan Inggris ke Benteng McHenry di Pelabuhan Baltimore. Ini memicu inspirasi dia pada Subuh hari berikutnya untuk menulis sebuah puisi yang berjudul ‘Star-Spangled Banner’.

Oleh Key, puisinya kemudian ditunjukan kepada kakak iparnya, Joseph H Nicholson, yang jga komandan milisi di Benteng McHenry. Dia yang mengatakan bahwa kata-kata dalam puisi Key  sesuai dengan irama dari sebuah lagu pendek terkenal dari Inggris yang ditulis pada tahun 1775 oleh komponis John Stafford Smith.

Terkesan oleh semangat yang ditunjukkan Key, Nicholson mencetak puisi tersebut di Baltimore. Dia juga menyebarkannya dengan nama Pertahanan Benteng M'Henry, seraya menunjukkan nada-nada yang seharusnya dinyanyikan.

Ketenaran puisi dan lagu itu meluas ketika Koran 'The Baltimore Patriot ' memuatnya. Hebatnya, hanya dalam hitungan minggu, The Star-Spangled Banner, yang segera menjadi terkenal, muncul dalam surat kabar di seluruh negeri untuk mengabadikan puisi karya Key dan bendera bersejarah yang dimuliakan. Lagu ini kemudian menjadi seperti sekarang dengan berbagai variannya.

Harap diketahui lagu ‘The Star-Spangled Banner’ baru ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Amerika di tahun 1931. Uniknya lagi, lagu ini menjadi penyemangat publik AS yang kala itu terkena krisis ekonomi yang sangat berat yang disebut ’The Great Malaise’ (di Hindia Belanda diplesetkan dengan Zaman Meleset'). Lagu berhasil memicu rasa ketabahan dan keberanian publik serta memberikan ekspresi atas rasa zaman yang sulit. Di lagu itu juga tersimpan bara sesuatu yang dikenal sebagai ‘impian Amerika’.

Kemudian bagaimana dengan Lagu Indonesia Raya? Jawabnya ternyata hasil sama. Lagu ini ditulis oleh WR Supratman, seorang pemuda yang ikut dalam konggres Pemuda 1928. Lirik lagu yang ditulisnya mewakili semangat zaman yang kala itu sangat kencang berhembus. Rasa kebangsaan dan kemedekaan terwujud dalam lagu itu.

Tak beda dengan lagu kebangsaan Amerika Serikat yang terpengaruh dengan lagu yang sedang terkenal di Inggris, kala itu irama lagu Indonesia Raya juga terkena imbas lagu yang tengah hits di negeri Belanda. Pengamat musik Remy Silado kera mengatakan lagu Indonesia Raya terpengaruh lagu ‘Pinda Pinda Leka-leka’. (Hal yang sama juga terjadi pada lagu ‘Dari Barat Sampai Ketimur’ dan juga The Beatles yang kemudian mencomot beberapa bar lagu itu pada lagu Kebangsaan Prancis itu).

Namun, sama juga dengan  lagu The Star-Spangled Banner’ lagu ini punya kekuatan magis yang itu terletak pada liriknya. Lagu Indoesia Raya juga mempunyai impian, kebanggaan, serta cita-cita dari sebuah negara yang bernama Indonesia yang pada waktu lagu tercipta memang belum ada. Pilihan kata ‘merdeka’ adalah frase yang dahsyat yang mewakili kobaran semangat zaman. Awalnya liriknya bukan memakai kata ‘merdeka’ tapi mulia. Namun, berkat campur tangan Tan Malaka kata disyair itu diganti menjadi kalimat ‘Merdeka’.

Uniknya, pada awal lagu itu terdengar pemerintah Belanda terkesan meremehkan. Pejabat Belanda mengawasi area Konggres Pemuda 1928 yang kemudian menjadi pejabat gubernur, Jendral Van Der Plas, menganggap enteng lagu itu. Katanya, lagu itu tak berbahaya sebab hanya mencerminkan selera rendah.

Tapi ketenaran lagu itu terus meluas tak tertahankan. Ini karena disetiap pertemuan yang bertema politik lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Bahkan kemudian saking jengkelnya dengan suara bising akibat lagu itu pemerintah Belanda melarang lagu ini dinyanyikan. Namun para aktvis kemerdekaan tetap nekad dan terus menyanyikan lagu ini secara diam-diam dan dari mulut ke mulut.

Akhirnya, ketika bala tentara Jepang berhasil menggusur kekuasaan Belanda di Indonesia, lagu Indonesia Raya diperbolehan untuk dinyanyikan secara terbuka. Dan lagu ini menjadi diperbolehkan untuk dinyanyikan secara umum. Ini juga sebagai cara bala tentara Nippon untuk mengambil hati  publik yang tengah menginginkan adanya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. Lagu Indonesia Raya kala itu bergaung dan bersaing dengan lagu kebangsaan Jepang 'Kimigayo', serta slogan Tiga A: Nippon Pemimpin Asia", "Nippon Pelindung Asia" dan "Nippon Cahaya Asia".

Kisah yang serupa bagaimana lagu bisa menjadi ekpresi zaman terjadi pada lagu ‘Padamu Negri’ karya Kusbini. Pada awalnya  yakni pada zaman perjuangan kemerdekaan, lagu ini sebenarnya diberi judul ‘Padamu Negara RI’. Adanya lagu ini membuat pemerintah kolonial galau, jengkel, dan meminta lagu ini tak boleh disebar luarkan. Akibat lagu ini kemudian oleh Pak Kusbini syairnya diganti ‘netral’: dari negara RI menjadi negeri (arti lain dari negara, red). Setelah syair lagu ini diganti, maka lagu diizinkan diperdengarkan secara bebas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement