Makkah dahulu dan sekarang memang jelas berbeda. Makkah kini berbeda dan menjadi kota moderen. Salah satu cirinya adalah munculnya puluhan terwongan untuk akses jalan dan dibangunnya Masjdil Haram dan berbagai hotel di sekelilingnya.
Pada gambar di atas misalnya terlihat kota pemandangan Makkah di masa lalu. Di situ terlihat berbagai perbukitan yang terdiri dari pasir dan batu. Namun pada masa kini, terutama perbikotan di sekitar Masjidil Haram suda tak ada lagi, berganti dengan aneka bangunan gedung dan hotel yang bertingkat tinggi.
Dan hal tersebut tentu berbeda suasananya dengan pemandangan Makkah masa lalu yang masih serba sederhana khas kota di tengah gurun Arabia. Bahkan Makkah sendiri punya arti lain yakni sebagai sebuah kota yang disebut ‘Bakah’, yakni sebuah tempat yang berada di wilayah pedalaman.
Makkah pada masa kini.
Guru besar falsafah dan kebudayaan Islam Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM, mengisahkan keberadaan Makkah pada zaman dahulu yang serba sederhana itu. Lazimnya kota di tengah padang pasir dan perbukitan batu, Makkah memang dahulu bukan kota gemerlap. Bahkan, sejak dahulu sudah kalah nyaman dengan Madinah yang terkesan lebih nyaman dan penduduknya lebih ramah.
“Makkah pada tempo dulu. Masih tampak bukit-bukit di sekelilingnya. Menurut penyair Arab abad ke-11 M, seperti diutarakan kritikus sastra Abdul Qahir al-Jurjani, pada musim haji yang tampak di lembah-lembah sekeliling Mekah adalah punggung-punggung unta. Mereka datang dari negeri-negeri jauh,’’ kata Abdul Hadi WM, di Jakarta, (16/9).
Menurut Abdul Hadi, oleh karena itu banyak sekali orang yang selalu berkunjung dari berbagai tempat, Ka`bah yang ada di Makkah disebut juga rumah terjauh. Apalagi di kota Makkah ini para pemeluk Islam dari berbagai kaum, etnik dan bangsa berkumpul dan lebur menjjadi satu.
“Sejak zaman dahulu kala semua bangsa melebur satu di Makkah. DI sana tidak ada lagi Arab, Persia, Turki, Melayu, Jawa, Negro, Kurdi, Berber, Mongol, Cina, India, dan lain sebagainya. Syiah, Sunni, NU, Muhamadiyah atau SI. Semua tidak lagi jadi perhitungan. Yang penting kalau berhaji di Makkah mereka mabrur,’’ujarnya lagi.
Jadi, Abdul Hadi menegaskan, sewaktu berada di Makkah dan di depan Ka`bah semua jamaah haji tanpa kenal ras dan bangsa adalah merupakan tamu Allah. Namun sebagaimana di kawasan jazirah Arab, di sana ada Syiah, Wahabi, dan Aswaja, begitu juga, di Indonesia dan Turki. Hebatnya lagi, dalam peribadatan seperti shalat dan doa umat Islam memang hanya megggunakan satu bahasa, yakni bahasa Arab. Padahal bukan satu bangsa dan bukan satu nusa.
“Persatuan Islam dan persaudaraan Muslim diikat oleh tauhid, yaitu kesaksian bahwa Tuhan adalah satu. Karena itu sebenarnya dalam Islam tidak diperkenankan Muslim menolak Muslim lain hanya karena beda etnik, bangsa dan paham keagamaan. Namun demikian usaha memecah belah Islam sudah lama dilakukan, mungkin setua sejarah Islam itu sendiri. Dan itu dilakukan oleh mereka yang tidak senang orang Islam bersatu,’’ katanya.
Terkait dengan Makkah, Ka’bah, dan persatuan Islam kemudian Abdul Hadi menyitir sebuah kazanah lama Islam tanah Melayu yang pada jaman dahulu akrab disebut ‘Jawi’ atau juga yang kini bernama Indonesia. Dia adalah Hamzah Fansuri yang seorang ilama dari Barus (Fansuri adalah sebutan orang untuk Barus dan juga Pancur). Ulama ini
menulis dalam syairnya begini:
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitil Ka'bah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya dijumpa dalam rumah
“Rumah dalam syair Fansuri artinya ilah Ka'bah. Alias rumah Tuhan. Rumah Tuhan ada di Makkah dan dalam hati manusia. Disebut Bayt al-Ma`mur,’’ tegas Abdul Hadi.