Rabu 03 Oct 2018 14:00 WIB

Kemenag Berharap Aturan VFS-TasHeel Dipertimbangkan Lagi

Kebijakan perekaman biometrik sebagai syarat pembuatan visa umrah dirasa memberatkan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Andi Nur Aminah
Calon haji Makassar yang tergabung kelompok terbang (kloter) 1 Embarkasi Makassar menjalani perekaman Biometrik di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (16/7).
Foto: Antara/Sahrul Manda Tikupadang
Calon haji Makassar yang tergabung kelompok terbang (kloter) 1 Embarkasi Makassar menjalani perekaman Biometrik di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (16/7).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kementerian Agama (Kemenag) Arfi Hatim menyebut peraturan VFS-TasHeel hendaknya dipertimbangkan kembali oleh Pemerintah Arab Saudi. Kebijakan perekaman biometrik sebagai syarat pembuatan visa umrah dirasa memberatkan calon jamaah asal Indonesia.

"Kami menghormati dan menghargai adanya aturan tersebut. Kebijakan itu sepenuhnya wewenang Pemerintah Arab Saudi. Tapi kami juga berharap dan memohon agar tidak menyulitkan jamaah kita," ujar Arfi di Hotel Merlynn Park, Rabu (3/10).

Ia menegaskan kondisi geografis Indonesia sangat luas dan terdiri atas beberapa pulau. Sementara kantor yang menyediakan perekaman biometrik ini hanya beberapa.

Di Tanah Air, kantor penyedia perekaman biometrik VFS-TasHeel baru tersedia di sembilan lokasi. Di antaranya, Aceh, Medan, Lampung, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Bandung, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar.

Arfi memikirkan kondisi calon jamaah yang datang dari wilayah Papua. Ia menyayangkan jika calon jamaah harus terbang dahulu ke Makassar untuk merekam biometrik dan kembali ke Papua untuk mengurus kebutuhan umrahnya.

Peraturan biometrik sebagai syarat pengajuan visa umrah sendiri dikeluarkan Pemerintah Arab Saudi dan berlaku mulai 24 Oktober mendatang. Untuk melakukan ini, Pemerintah Saudi bekerja sama dengan perusahaan VFH-TasHeel untuk melakukan perekaman sidik jari dan umrah. "Kami berharap jika peraturan ini jadi diterapkan, bisa dilakukan di bandara saja, saat jamaah akan berangkat ke Tanah Suci. Seperti pelaksanaan haji kemarin," lanjut Arfi.

Ia berharap Pemerintah Saudi bisa kembali mengkaji kebijakan ini. Pertimbangannya dengan melihat kondisi geografis Indonesia dan membayangkan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi oleh masyarakat.

Sementara untuk peraturan visa progressif bagi pengajuan visa umrah, ia mengaku tidak ada surat-menyurat dengan pemerintah Arab Saudi. Semuanya diumumkan melalui sistem mereka dan biasanya langsung berlaku.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin sendiri mengaku belum mengetahui dan mendapatkan informasi resmi tentang penerapan perekaman biometrik sebagai syarat visa umrah ini. "Kita masih belum ada informasi resmi tentang hal ini. Kita belum mendapatkan hitam di atas putih secara tertulis ataupun email tentang ketentuan baru itu," ujarnya.

Berdasarkan hal tersebut, Menag merasa belum bisa memberikan komentar lebih jauh. Jadwal untuk ibadah umrah sendiri baru dibuka sejak 1 Muharram atau 11 September lalu. Menag menjanjikan akan menggali dan mendalami terlebih dahulu untuk ketentuan tersebut.

Mengenai penolakan yang sebelumnya sempat sempat dikeluarkan oleh pihak travel dan calon jamaah, pihak Kemenag akan melakukan konfirmasi terhadap peraturan tersebut kepada pihak Arab Sausi. Akan dicari seperti apa latar belakang yang mendasari munculnya regulasi ini.

"Kita harus mendengar terlebih dahulu apa hal-hal yang melatarbelakangi dan melandasi regulasi ini. Kalau memang ada keberatan-keberatan dari kita, tentu juga akan disampaikan," lanjut Menag.

Lukman sendiri mengingatkan kepada warga indonesia bahwa kebijakan atau peraturan untuk visa merupakan hak dan kewengangan penuh dari negara yang menjadi tujuan keberangkatan. Pemerintah Indonesia tidak bisa sepenuhnya ikut campur untuk hal tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement