Jumat 28 Dec 2018 10:17 WIB

Parem oh Parem

Param adalah barang penting untuk menghilangkan pegal ketika umrah.

Peziarah mendaki Jabal Rahmah di Arafah, Makkah. Lokasi tersebut berada tepat di tengah wilayah wukuf Arafah.
Foto: Republika/Fitrian Zamzami
Peziarah mendaki Jabal Rahmah di Arafah, Makkah. Lokasi tersebut berada tepat di tengah wilayah wukuf Arafah.

Oleh:Utiek M Panji Astuti, traveler dan penulis

Di antara semua perlengkapan yang selalu saya bawa dalam perjalanan, ada satu benda yang sekarang tidak boleh tertinggal: parem kocok.

Ya, meski terdengar memalukan, tapi saya selalu membawa serta kemana pergi. Terutama kalau sedang umrah, karena pasti akan banyak aktivitas jalan kaki.

Lambang awalnya sangat sebal, karena tidak tahan dengan baunya yang menurutnya seperti "mbah-mbah". Kalau di rumah dia akan mengungsi ke kamar tamu begitu tercium aroma parem. Tapi kalau sedang dalam perjalanan, saya harus memakainya di kamar mandi.

Seiring bertambahnya usia, dia makin mahfum dengan aroma yang selalu mengiringi perjalanan kita. Apa mau dikata, usia tidak bisa berbohong. Tulang yang semakin menua membuat sendi harus sering dibaluri parem.

Indonesia dengan kearifan lokalnya mempunyai aneka ramuan rempah yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Ramuan sejenis dengan parem, namun memiliki fungsi yang berbeda antara lain lulur, boreh, timung, dan sebagainya.

Sebagai orang Jawa, sejak kecil saya biasa memakai parem. Waktu SD, setiap selesai latihan drumband atau Pramuka, Mama biasa memberikan parem. Dan memang mujarab, dengan sekali oles lalu ditinggal tidur sebentar, bangun-bangun, pegelnya sudah hilang.

Kemarin selesai umrah saya belum sempat memakai parem, karena padatnya aktivitas. Tapi tadi pagi usai thawaf di 2/3 malam dan berdesak-desakan hingga bisa berdoa menempel di dinding Multazam dan shalat di Hijir Ismail, kaki saya mulai leg-log kalau orang Sunda bilang atau lempoh kata orang Jawa. Alias pegel semua.

Tapi pagi ini pun saya belum bisa memakainya, karena ada schedule ke Arafah. Saya tidak pernah melewatkan jadwal ke Arafah tiap umrah. Karena saya begitu merindukan mengulang momen jamuan wuquf di padang Arafah.

Sekalipun berkali-kali datang ke sini, namun "undangan" untuk menikmati muktamar akbar itu belum kunjung datang kembali.

Sesekali Lambang bertanya, "Kenapa kamu selalu ngotot ingin ikut ke Arafah, padahal sudah berulang ke sana?" Yang selalu saya jawab, "Aku ingin Allah menyaksikan kesungguhan doaku untuk minta diundang kembali pada jamuan wuquf."

Jabal Rahmah, bukit cinta yang dipercaya sebagai tempat bertemunya kembali Adam dan Hawa setelah terpisah ratusan tahun seturut diturunkan dari surga masih kokoh berdiri di tengah Arafah.

Beberapa ustadz dan kru biro umrah saya sering mencandai: "Pak Haji Herlambang bolak-balik ke Jabal Rahmah, enggak khawatir doanya diijabah, Mbak?" 

Jabal Rahmah dipercaya sebagai tempat yang mustajab untuk memanjaatkan doa terkait "perjodohan". Seiring beberapa peristiwa kasih sayang yang terjadi di tempat ini.

Di tempat mulia ini pula, Sang Pembawa Risalah mencurahkan seluruh cintanya pada umat pada prosesi haji Wada' atau haji perpisahan.

"Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]

Begitu dalam makna ayat itu hingga membuat para sahabat bercucuran air mata saat mendengarnya, karena menyadari, waktu mereka bersama Sang Pujaan Hati tak akan lama lagi. Di bukit cinta ini, Manusia Mulia itu berpamitan untuk menghadap Rabb-nya yang begitu ia cintai.

Setelah dini hari tadi segala pinta saya deraskan di depan dinding Multazam dan di Hijir Ismail, siang ini di Arafah kembali saya ketuk pintu langit. "Ya Rabb, saya begitu merindukan jamuan wuquf di Arafah. Ahrijna yaa Allah... ahrijnaa -kabulkan yaa Allah, kabulkan..."

Saya yakin, saat ini "undangan" itu sedang dalam proses "cetak". Karena seperti firmanNya, "Aku seperti persangkaan hambaku." Maka saya pun berprasangka baik, undangan itu tak lama lagi akan segera tiba. Biidznillah.

Di atas bus yang membawa kita keliling kota Mekkah, di antara kantuk yang mendera, tetiba saya ingat: siang ini tak bisa ditunda lagi saya harus memakai parem. Untuk memulihkan tenaga sebagai persispan thawaf di 2/3 malam nanti.

Kalau suatu saat nanti bertemu perempuan berhijab membawa parem di luar negeri, bisa jadi itu saya. Jangan sungkan menyapa, "Assalamualaykum."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement