Oleh: Uttiek M Panji Astuti, penulis buku dan traveler
"Anak saya yang besar, Fatimah, bilang, mau pulang kalau sudah punya ijazah dari luar negeri. Ijazah SMP dari Saudi, Bu Hajjah," katanya sendu di pelataran Jabal Rahmah, Arafah.
Saya memanggilnya Kang Sholeh. Ia seorang muthawif yang sudah bekerja untuk sebuah biro tour selama 8 tahun. Berasal dari Madura dan sudah tinggal di Saudi selama 16 tahun.
Setiap akhir tahun saat umrah, saya menjumpainya dan mendengar banyak cerita. Tentang kehidupan orang-orang Indonesia di Tanah Suci, tentang majikan-majikan yang seringkali tak manusiawi, tentang ketulusannya membantu jamaah, dan banyak lagi. Namun, tak pernah saya mendengar ceritanya sesendu kali ini.
Kepolosannya saat bercerita mengingatkan saya pada sosok Nasrudin Hojja. Seorang sufi asal Konya, Turki, yang sempat berkelana hingga tanah Samarkand dan menjumpai Amir Temur atau Timurlenk. Dengan kepolosannya ia bisa menaklukkan hati dan mengajarkan hikmah pada Sang Penguasa yang konon sebagian mengatakan kejam.
Saya pun merasakan kepolosan Kang Sholeh saat bercerita dan memaknai hidup. Mengajarkan saya tentang ilmu hikmah, yang tidak ada di buku manapun, selain di universitas kehidupan.
Sebagai jurnalis, saya sering berjumpa dan berdiskusi dengan orang-orang pintar yang sosoknya sering muncul di media. Namun, omongan mereka seringkali tidak membumi, pun tidak mengangkasa. Alias ribet sendiri tidak jelas. Apa yang dibicarakan jauh panggang dari api dengan kehidupan yang dijalani.
Kang Sholeh lalu melanjutkan ceritanya sambil menyendok es krim yang dibelikan jamaah. "Pajak pemerintah Saudi sekarang mahal sekali Bu Hajjah. Dulu 5.000 SAR (setara Rp20 juta) untuk 2 tahun sekeluarga: saya, istri dan 2 orang anak. Sekarang naik jadi 25.000 SAR untuk sekeluarga setahun. Laa hauwla wa la quwata illa billah," ceritanya dengan mimik polos tanpa perubahan ekspresi yang berarti.
Saya teringat beberapa analisa tentang kondisi Saudi terkini yang ditulis berbagai media. Harga minyak dunia yang terus merosot membuat negara-negara petrodolar mulai ngos-ngosan mengongkosi negaranya.
Perang di Yaman yang dikomandoi Saudi juga dituding menjadi biang keladi. Ongkos perang tak murah lagi. Rakyat akhirnya kena batunya.
Harga bensin yang dulu 1 SAR dapat 3 liter, di minggu-minggu ini berbalik 3 SAR untuk 1 liter. Semua pajak dinaikkan. Termasuk pemberlakuan visa progresif untuk jamaah umrah yang saya bayarkan tahun ini.
Cerita Kang Sholeh senada dengan Pak Khudori. Meski "jabatannya" lebih tinggi dari Kang Sholeh, yakni koordinator para muthawif di Saudi atau secara becanda sering dipanggil "gubernur Makkah", ia membuat keputusan lebih cepat. Istri dan ketiga anaknya sudah dipulangkan ke kampungnya di Indonesia, sebelum bulan Dzulhijjah lalu.
"Nanti kalau kondisi sudah membaik, semoga bisa kita bawa lagi ke sini," harapnya.
Bagi orang-orang seperti Kang Sholeh dan Pak Khudori semua alasan itu tak bisa dimengerti. Mereka hanya tahu, kini hidup di Saudi tak mudah lagi.
Jangankan warga negara asing, untuk orang lokal pun situasinya kini sedang tidak bersahabat.
Dima, perempuan yang datang ke masjid bersama 5 orang anaknya mengatakan, meski kesehatan dan pendidikan dijamin negara, namun setiap hari ia harus mengeluarkan belanja lebih. "Galon air juga naik harganya," katanya sambil tertawa getir.
Tapi, ia masih optimis. Kondisi ini tak berlangsung selamanya. Angin perubahan yang dihembuskan pemerintah sebentar lagi akan dirasakan manfaatnya untuk rakyat Saudi.
Harapan rakyat di belahan bumi manapun sejatinya sama saja. Tak pernah muluk-muluk. Cukup, negara memberikan kesejahteraan bagi mereka. Tak peduli perang, suksesi, dan segala intrik politiknya, yang penting biaya hidup murah. Itu saja.
Seperti harapan Kang Sholeh yang jalan rezekinya melalui jamaah haji dan umrah dari Tanah Air. "Saya doakan Bu Hajjah dan Pak Haji Herlambang sehat selalu, diberi kelimpahan rejeki, sehingga tahun depan bisa berjumpa lagi dengan Sholeh di Tanah Suci," doanya yang langsung saya aminkan sepenuh hati.
Arafah, 26/12/2018