IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin memahami kebijakan Pemerintah Saudi yang menerapkan kebijakan rekam biometrik sebagai upaya kewaspadaan Saudi dimasuki masalah teroris. Meski demikian kewaspadaan itu tidak boleh berlebihan dan dapat menyulitkan pihak yang menjalankan ibadah ke Tanah Suci.
“Harus juga dipahami yang berangkat ke sana untuk umrah apalagi berhaji itu tujuannya adalah ibadah,” kata Din Syamsuddin saat ditemui Republika.co.id di kantor The Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Jakarta, Senin (11/2) malam.
Ketua Pendiri Centre for Dialigue and Cooperation among Civilizations (CDCC) ini mengatakan, Kerajaan Arab Saudi sebagai khadimul haramain pelayan dua Masjid Suci tidak perlu curiga berlebihan terhadap jamaah Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji dan umrah. “Justru harus dimudahkan jamaah umrah ini sebagai bagian dari pelayanan karena Raja Arab Khadimul Haraimain pelayan dua Masjid Suci,” katanya.
Din tidak memungkiri jika dunia kekonsuleran dan keimigrasian sekarang memang menuntut adanya teknologi sebagai bagian dari kemudahan dalam membangun komunikasi hubungan luar negeri antar sesama negara. “Dunia sekarang memang semaki canggih,” katanya.
Sehingga, Din mengatakan, perlu dipahami jika Pemerintah Saudi melalui Visa Facilitaion Service (VFS) Tasheel Indonesia melakukan rekam biometrik kepada setiap jamaah umrah sebagai syarat mendapatkan visa. Masalah penting penerapan rekam biometrik ini untuk memudahkan mendeteksi setiap orang yang masuk Saudi.
“Dunia semakin menuntut adanya peralatan teknologi canggih, terutama ada isu migrasi terorisme dan isu macam-macam yang menggangu kedaulatan sebuah negara dan jika Saudi Arabia melakukan hal itu sangat dipahami,” katanya.