Senin 15 Apr 2019 12:00 WIB

Penyelenggaraan Haji-Umrah adalah Kerja Mulia

Masyarakat harus memahami penyelenggaraan haji dan umrah memakan biaya.

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Haji
Haji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Melayani tamu Allah sudah menjadi pekerjaan Muhammad Hasan, putra Banten. Di sela-sela khidmahnya kepada para tamu Allah di Tanah Suci, pria kelahiran 1 Juli 1971 tersebut menjalin silaturahim. Dia membangun keakraban dengan dhuyufurrahman dari berbagai negara. Di mata mereka, Hasan adalah pembimbing yang mengarahkan ibadah di Tanah Suci sehingga hati menjadi tenang.

Meski tinggal di Saudi, putra asal Lebak ini tak hanya menguasai bahasa Arab. Dia juga berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, kemampuan yang tak banyak dimiliki warga Indonesia yang tinggal di wilayah kerajaan tersebut.

Bermodalkan bahasa asing tadi, Hasan melayani jamaah dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, bahkan Amerika Serikat. Terkesan dengan komunikasi Hasan yang ramah dan optimistis, Mereka menganggap pengusaha Muslim satu ini sebagai saudara. Dari situlah pendiri Gaido Group ini memulai dan mengembangkan bisnisnya.

Lewat silaturahim dengan mereka, Hasan membangun Gaido Group yang kini berkembang menjadi puluhan unit bisnis. Berikut ini adalah petikan wawancara wartawan Republika Erdy Nasrul dengan Muhammad Hasan di Jakarta pada Selasa (9/4).

Bagaimana cerita Anda berangkat dan hijrah ke Tanah Suci?

Saya lahir dan tumbuh dalam lingkung an keluarga yang sederhana. Penuh tantangan. Ketika itu saya berada pada dekade 70-80-an. Banten tempat saya hidup adalah daerah tertinggal. Akses masih berupa tanah.

Hidup dalam keluarga apa adanya tak membuat saya patah semangat. Meski tanpa alas kaki, saya tetap berangkat ke sekolah. Duduk bersama sejumlah teman yang ketika itu sudah bersepatu. Pada pagi hari saya berangkat ke se kolah. Kemudian siang hari berangkat ke mad rasah untuk belajar agama. Ini adalah ke biasaan umum anak Banten hingga saat ini.

Tamat sekolah, saya melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Ketika itu me nempuh studi sarjana tarbiyah di Sekolah tinggi Wasilatul Falah. Kemudian karena sering berkelahi, akhirnya diarahkan untuk hijrah ke Saudi.

Pada 1995 saya berangkat. Di sana saya menimba ilmu di Ma'had Syekh Abuya Damanhuri al-Bantani. Tak disangka, di sana saya bertemu dengan mahasiswa dari Ma dinah, al-Azhar Mesir, Irak, dan berbagai negara Timur Tengah. Makkah adalah pusatnya, tempat pelaksanaan ibadah haji. Muslim dari berbagai negara, termasuk Indonesia berkumpul di sana.

Dalam situasi nyaman di Makkah saya bertemu Pak Haji Anwar, pengusaha dari Singapura istrinya Ibu Azizah, pemilik Azza Travel. Di Singapura mereka membawa jamaah haji dan umrah. Selama di Makkah, saya yang membantu mereka. Sambil belajar, saya menjadi perwakilan beberapa agen travel. Merekalah menjadi motivasi dan inspirasi saya untuk berwirausaha.

Saya tidak punya materi. Namun Allah memberikan saya sedikit kemampuan berbahasa Arab dan Inggris. Orang Indonesia di Saudi belum tentu bisa bahasa Inggris. Ini menjadi kelebihan. Di sana saya mengenakan jas dan berdasi. Orang di sana tak percaya kalau saya orang Indonesia.

Bermodalkan itu, saya mampu berkomunikasi dengan orang-orang Saudi, biro travel Malaysia, Brunei Darussalam, dan Amerika Serikat. Mereka memer cayakan saya untuk membantu jamaahnya di Tanah Suci. Saya kemudian menangkap hal ini sebagai peluang untuk berbisnis lebih lanjut. Pada 2000, saya diminta Pak Haji Anwar untuk kembali ke Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement