IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Arab Saudi diketahui menambah kuota haji sebanyak 10 ribu jamaah untuk Indonesia. Hal itu disampaikan menyusul kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Raja Salman, hari ini.
Bagaimanapun, ada dampak dari keputusan itu terutama pada sejumlah hal yang kompleks. Jika penambahan kuota haji 10 ribu jamaah diberlakukan pada tahun ini, maka perlu pembahasan antara Kementerian Agama (Kemenag) dan DPR-RI.
Setidaknya, dua implikasi besar yang dinilai mesti dipikirkan. Pertama, terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji. Kedua, pelayanan haji, baik di dalam maupun luar negeri. Hal itu dijelaskan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin.
Untuk biaya penyelenggaraan, Kemenag bersama DPR-RI sebelumnya telah menyepakati Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) untuk tahun ini dengan skema kuota 221 ribu orang jamaah. Mereka terdiri atas 204 ribu orang jamaah haji reguler dan 17 ribu orang jamaah haji khusus. Rata-rata, BPIH untuk jamaah haji reguler untuk tahun ini ialah sebesar Rp 35.235.602 atau setara 2.481 dolar AS.
“Bersama DPR, kami sudah menyepakati biaya haji 2019 menggunakan dana optimalisasi sebesar Rp 7,039 triliun untuk 204 ribu jamaah. Itu artinya, untuk 10 ribu jamaah baru, sebagai tambahan kuota, diperlukan tambahan biaya tak kurang dari Rp 346 milliar,” ungkap Menag Lukman Hakim dalam keterangan yang diterima Ihram.co.id, Senin (15/4).
Dampak lainnya ialah penambahan sekitar 25 kloter baru dan sekitar 125 petugas kloter. Pembahasan lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan sumber biayanya.
Kemudian, terkait pengadaan layanan haji, baik selama di Tanah Air maupun Tanah Suci. Penambahan kuota tentunya akan memengaruhi proses penyiapan dokumen dan manasik jamaah haji.
Apalagi, proses penerbitan visa saat ini disertai syarat rekam biometrik. Hal itu pun saat ini sedang berjalan, bahkan di sejumlah daerah sudah hampir selesai.
“Kami harus mendistribusikan kembali tambahan kuota ini ke tingkat provinsi. Kami juga harus menambah petugas kloter. Jumlah 10 ribu setidaknya akan terdistribusi dalam kurang lebih 25 penerbangan. Setiap penerbangan harus ada lima petugas kloter,” tutur Menag.
Di Tanah Suci, hampir seluruh aspek layanan akan terdampak penambahan kuota haji 10 ribu jamaah. Proses pengadaan yang semestinya sudah hampir final harus ditambah. Menurut Menag, hal itu bukan perkara yang mudah.
Misalnya, akomodasi di Madinah. Saat ini, hampir seluruh hotel di kawasan Markaziah, yakni berjarak terdekat dari Masjid Nabawi, sudah penuh. “Penambahan kuota tentu akan menambah kebutuhan hotel yang saat ini sudah banyak dipesan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia,” papar Lukman.
Untuk akomodasi di Makkah, penambahan kuota akan berdampak pada sistem zonasi. Sistem tersebut sesungguhnya baru diterapkan pada tahun ini.
Jamaah haji Indonesia akan ditempatkan pada tujuh wilayah, berdasarkan kelompok embarkasi sebagai berikut.
- Syisyah: Embarkasi Aceh (BTJ), Medan (KNO), Batam (BTH), Padang (PDG), dan Makassar (UPG)
- Raudhah: Embarkasi Palembang (PLM) dan Jakarta – Pondok Gede (JKG)
- Misfalah: Embarkasi Jakarta – Bekasi (JKS)
- Jarwal: Embarkasi Solo (SOC)
- Mahbas Jin: Embarkasi Surabaya (SUB)
- Rei Bakhsy: Embarkasi Banjarmasin dan Balikpapan
- Aziziah: Embarkasi Lombok (LOP)
“Penyediaan akomodasi di Makkah yang saat ini sedang berjalan, sudah hampir final dengan skema zonasi. Karenanya, kemungkinan besar, khusus untuk tambahan 10 ribu ini tidak lagi menggunakan sistem zonasi,” jelas Menag.
Selain masalah akomodasi, kebutuhan lainnya yang juga harus disiapkan ialah ketersediaan bus shalawat dan biaya angkut bagasi.
“Semua membutuhkan biaya, baik direct maupun indirect. Karenanya, Kemenag akan segera melakukan pembahasan dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan terkait penambahan kuota ini,” tutup Menag.