IHRAM.CO.ID, Angkat kematian, kesakitan, dan sesat pulang pada penyelenggaraan ibadah haji di era sebelum 2013 begitu tinggi. Penyebabnya, karena jamaah sebelumnya tidak dibimbing dengan baik.
Hal itu disampaikan komisioner Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dr Abidinsyah Siregar saat mengunjungi Republika.co.id, belum lama ini. "Karena itu dua tahun pertama di tahun 2013-2014 kita upprove MUI, kita upprove wakil menteri agama ketika itu Prof Nazarudin Umar, kita approve wakil menteri Prof Ali Gufron tentang Apa itu istilah istitho'ah kesehatan," katanya.
Abidinsya mengatakan, dulu dipahami istilah Istithaah itu syarat jamaah untuk mengikuti ibadah haji. Bahkan, setelah KPHI dan Kemenkes menawrkan konsep istitha'ah, sempat ditolak panitia penyelenggara ibadah haji.
Akan tetapi, KPHI meyakinkan melalui dua wakil menteri Prof Nazaruddin Umar dan Prof Ali Ghufron. Setelah keduanya sama-sama yakin dibuatlah MoU antara Kemenag dan Kemenkes pada 11 Agustus 2015 dan tentang Istithaah dan tahun 2016 Kemenkes membuat dua kebijakan.
Dua kebijakan itu dikukuhkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 tahun 2016 tentang istithaah kesehatan dan Permenkes nomor 62 tahun 2016 tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji.
"Jadi dua inilah yang digunakan menteri kesehatan di lapangan. Dengan itu istithaah menjadi trendy atau yang disebut sekarang trending topik," katanya.
Akan tetapi, kata Abidinsyah, praktik istithaah di lapangan tidak semulus apa yang KPHI, Kemenkes, dan Kemenag inginkan. Ini karena banyak jamaah yang batal diberangkatkan karena tidak memenuhi syarat istithaah setelah diperiksa diembarkasi.
"Karena sepertinya istithaah itu digunakan sebagai judgement Anda tidak istithaah tidak boleh berangkat disitulah terjadi keributan di embarkasi, nggak karuan ada yang lapor ke sana, ada yang lapor kesini sampai menteri ribut, DPR ikut campur," katanya.
Akhirnya, untuk mengakhiri terjadi keributan antar Kementerian dan lembaga, semua jamaah baik yang istithaah maupun tidak diberangkatkan. Kenapa sampai terjadi keributan, karena konsep tentang istithaah itu tidak seperti yang dipikirkan KPHI.
"Dalam pikiran KPHI istithaah itu adalah menyiapkan semua jamaah itu menjadi mampu pergi, bukan memilih, memilah menentukan. Bukan...itu salah pakai ilmunya," katanya.
Sebagai tenaga dokter yang bergabung di KPHI, Abidinsyah bisa memberikan konsep bagaimana menyiapkan agar jamaah bisa berangkat haji dengan kondisi kesehatan yang prima. Selama ini, kata dia, ketika KPHI bertanya kepada jamaah haji berapa kali dilakukan pemeriksaan.
Jamaah haji, kata dia, menjawab hanya satu sampai dua kali dilakukan pemeriksaan. Padahal masa tunggu jamah haji sampai belas tahun.
"Jadi selama ini ngapain saja. Menurut KPHI makna istithaah itu belum berjalan. Kami melihat bahwa kebijakan menteri kesehatan tentang istithaah itu belum dilaksanakan oleh aperator di lapangan secara benar," katanya.
Sehingga hal ini bukan salah dari Menteri Kesehatan. Karena jejaring di bawah dalam sistem tata pemerintahan, Kemenkes tidak memiliki kewenangan. Untuk itu perlu ada kerja sama antar kementerian terkait sehingga pembinaan kesehatan bisa sampai ke seluruh daerah di Indonesia.
"Kerja sama dong dengan Menteri Dalam Negeri dengan Menteri Agama jangan kerja sendiri kalau kerja sendiri berhentinya (pembinaan kesehatan) di Jakarta tidak sampai di Papua," katanya.
Samidin mengatakan, dinamika seperti itulah sebagai contohnya, bahwa seorang tenaga kesehatan harus ada dalam unsur keorganisasian KPHI yang tugas pentingnya untuk mengawasi pembinaan kesehatan.
"Itulah gunanya saya bersama beliau beliau ini (komisione KPHI). Karena saya akan mendengar seperti apa situasi di bawah tentang kesehatan dan ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan artinya KPHI masih diperlukan seharusnya," katanya.