Senin 03 Jun 2019 06:11 WIB

Iktikaf di Masjidil Haram: Dia Malaikat atau Pengemis?


Banyak peminta sedekah di Masjidil Haram berbaur dengan kerumunan jamaah.

Suasana buka puasa di halaman Masjidil Haram.
Foto: pinterest.com
Suasana buka puasa di halaman Masjidil Haram.

Oleh: Soenarwoto, Mantan Jurnalis Republika

Ketika pagi beranjak siang, mumpung di Kota Makkah atau di Tanah Suci, saya selalu berusaha mendatangi Masjidil Haram. Dari pada mlungker di kamar hotel, malah mencipta badan jadi keju linu, encok, dan rematik. Dengan datang di Masjidil Haram badan jadi sehat. Bisa melengkapi amalan-amalan iktikaf yang belum bisa dilakukan pada malam hari. Pagi beranjak siang itu, tepat pada puasa hari ke-27 Ramadan, saya memilih Tawaf sunnah dan salat Dhuha.

Tawaf sunnah itu sangat dianjurkan saat di Masjidil Haram. Menurut ibrah agama, tawaf sunnah pahala dan rahmatnya paling tinggi di Masjidil Haram dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Dan ibadah dengan mengitari tujuh kali putaran Kakbah ini hanya bisa dijalankan di Masjidil Haram. Di kampung halaman kita tidak bisa. Misalnya kita bisa mengitari tujuh rumah kita dan berdoa laiknya orang tawaf pasti kita diketawakan tetangga. Malah, bisa-bisa dianggap orang gila.

Saya biasanya mengerjakan tawaf sunnah dulu baru kemudian salat Dhuha. Tentunya, salat sunnat tawaf dulu sebelum Dhuha. Pagi beranjak siang itu saya memilih Tawaf sunnah di tengah pelataran Kakbah. Tidak terlalu dekat dengan Kakbah, juga tidak terlalu menepi, jauh dari Kakbah. Dengan perlahan dan santai saya menjalankan tawaf sunnah. Bukan karena puasa saya berjalan pelan dan santai. Tapi, memang itu yang dianjurkan dilakukan jamaah. Mengikuti jejak Rasul dengan berjalan tenang dan penuh kekhusyukan di dalam berdoanya.

Tawaf itu seperti salat. Harus suci (punya wudlu) dan khusuk di dalam mengerjakannya. Bukan sekadar kita berjalan dan berkeliling Kakbah. Boleh bicara saat tawaf, tapi berkata hal-hal baik dan tidak keras. Tak boleh berjalan dengan penuh nafsu. Dengan cepat biar tawaf rampung dan abai dengan jamaah lain. Srudak-sruduk berjalannya. Hingga tak sadar mereka menginjak kaki lain, menyodok tubuh lain, dan sebagainya yang bisa menyakiti jamaah lain. Ini tidak boleh.

Pada saat tawaf sunnah itu saya tiba-tiba didekati seorang laki-laki berwajah Arab. Usia parobaya, berkulit hitam, berjenggot tebal, dan bersurban putih. Dia datang degan mengucap salam dan tersenyum sembari menundukkan wajahnya yang sebagian tertutup surban. "Sedekah, ya hajj, sedekah," ucapnya. Rupanya, dia minta sedekah.

Tanpa panjang kata, saya membuka tas pinggang. Saya beri lelaki itu uang 50 Riyal.

"Miah Riyal, ya hajj. Miah Riyal. Insyaalah umrah mabruran doa makbulan." Oh, ternyata kurang. Dia minta tambah lagi jadi 100 Riyal. Tanpa panjang kata permintaannya pun saya penuhi.

Saya beri dia 100 Riyal. Niat saya iktikaf di antaranya juga bersedekah. Maaf, sedekah bukan hanya memberi uang. Memberi tempat salat kepada lain juga sedekah, tidak mau menangnya sendiri juga sedekah, berbagi kebaikan walau cuma memberi sebuah kurma juga sedekah. Bahkan cuma tersenyum kepada jamaah lain pun sedekah.

"Alhamdulillah, insyaallah barokah. Insya barokah," ucap lelaki itu setelah saya beri uang. Kemudian dia pun dremimil mendoakan saya yang sedang tawaf. Saya pun mengamini. Mumpung di pelataran Kakbah. Tempat paling mustajabah. Siapa tahu doanya terkabulkan untuk saya. Amin.

Bersamaan itu dia menghilang dari pandangan saya. Plasss. Entah dia pergi ke mana. Sedangkan saya harus menyelesaikan tawaf. Ketika lelaki itu pergi, dalam hati saya bertanya-tanya. Dia itu malaikat apa peminta-minta (pengemis)? Sebab, banyak cerita sufi bahwa di Masjidil Haram ketika Ramadan akhir dipenuhi malaikat datang yang menjilma manusia. Bisa kehadirannya sebagai pengemis.

Mereka datang untuk menguji seberapa kuat kita ngandoli donya (harta atau uang). Menguji seberapa besar kita mau bersedekah untuk membantu lain. Namun, tak sedikit peminta-minta di Tanah Suci itu adalah pengemis. Para pengemis ini umumnya imigran asal IPB (India, Pakistan, dan Banglades). Juga Rohingya (Birma), Syria, dan ada peminta-minta lain yang mengaku dari Palestina.

Lagi, saat sedang berdoa setelah salat sunnat saya didatangi seorang pemuda berwajah Arab dengan memakai kain ihram. Dia mengucapkan salam dan bertanya apakah saya orang Indonesia lalu minta uang. Bisa riyal, bisa rupiah, apalagi dolar. Dia mengaku kehabisan uang untuk ongkos ke Kota Madinah. Dia mengaku berasal dari Palestina.

Tanpa panjang kata, saya pun memberinya 100 Riyal. Dia sudah menunjukkan dompetnya betul-betul khalas alias habis tidak ada isinya. Apalagi, dia berasal dari Palestina. Hati ini begitu simpati begitu mendengar Palestina, yang sepanjang masa ditindas oleh bangsa Israel. Untuk itu jika saya bertemu dengan orang Palestina apalagi sedang umrah, sak nduweku duit tak wenehne (seberapa punya uang saya berikan). Apalagi, dia meminta di pelataran Kakbah.

Belum lama pemuda Palestina berlalu, kini datang seorang asal Pakistan. Serupa. Dia datang juga meminta uang untuk keluarganya yang sudah beberapa hari ini belum makan. Mendengar ini saya pun iba. Tak pelak saya pun memberi 100 Riyal sesuai yang diminta. Setelah bapak tua asal Pakistan itu pergi, datang seorang pemuda ganteng asal Jakarta. Dia berusaha duduk merapat di samping saya. Setelah rapat dia lalu berbisik kepada saya.

"Di sini bapak jangan gampang percaya. Mereka itu tadi peminta-minta. Pengemis. Begitu memang modusnya di sini. Jadi, bapak jangan berpikir bahwa mereka itu malaikat," kata pemuda asal Jakarta itu mengingatkan saya. Dia pun bercerita penuh logika. Bla..bla..bla.

Deg. Saya kaget. Pemuda asal Jakarta ini kok tahu apa yang sedang saya pikirkan. Jangan-jangan dia setan. Menggoda saya, untuk tidak melakukan sedekah. 
"Terima kasih mas, saya sudah diingatkan," jawab saya kepada pemuda asal Jakarta itu. "Maaf, saya ini orang ndeso. Sering kali beribadah tidak pakai logika," ucap saya merendah dan biar pemuda asal Jakarta itu menjadi bungah. Senang.

Tapi, dalam hati ini tetap meyakini bahwa, mereka yang datang itu tadi para malaikat bukan peminta-minta atau pengemis. Jikalau mereka itu benar-benar pengemis juga tidak mengapa. Bagi saya, bisa memberi atau menolong lain, itu sesuatu di akhir Ramadan. Toh, menurut saya yang kurang pandai mengasah logika ini, kedatangan malaikat atau pengemis itu hakikatnya sama. Menguji kita; sebagai orang yang suka bersedekah atau bakhil alias medit.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement