REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Sejak dahulu, saya sering mendengar opini masyarakat bahwa naik haji adalah saatnya "pembalasan." Dalam arti, amal-amal buruk yang pernah dilakukan di Tanah Air akan dibalas secara tunai selama seseorang berada di Tanah Suci.
Karena itu, saya kerap mendengar bila seorang jamaah haji sakit, terpisah dari rombongan, tersesat di jalan, kehilangan barang, terinjak-injak kerumunan, atau terkena musibah lainnya, maka nasibnya langsung dikaitkan dengan opini tersebut. "Oh si fulan sedang dihukum." "Oh si fulan selama di Tanah Airnya begitu, makanya di Tanah Suci kena musibah."
Opini seperti itu, menurut saya, kurang bijak. Tak jarang saya mendegar informasi banyak orang takut untuk pergi haji karena memercayai opini demikian, padahal mereka boleh jadi mampu secara finansial untuk berangkat ke Tanah Suci. Namun, niat itu terganjal rasa takut bahwa dosa-dosanya akan dibalas tunai selama di Makkah atau Madinah.
Bagi yang sudah berada di Tanah Suci, opini demikian ternyata tetap menjadi momok. Malahan, hal itu bisa membuat seorang jamaah takut keluar dari pemondokan untuk pergi ke Masjid al-Haram. Hal ini patut disayangkan karena salah satu tujuan pergi ke Tanah Suci ialah beribadah di Masjid al-Haram. Apalagi, ibadah di sana disebut-sebut akan memeroleh pahala yang berlipat ganda.
Cerita Jamaah
Saat menjalani pembekalan di Asrama Haji Pondok Gede pada April lalu, seorang dokter spesialis kesehatan jiwa menceritakan kepada saya. Saat bertugas di Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Makkah beberapa tahun lalu, tutur dia, ada seorang jamaah yang sama sekali tidak mau keluar dari hotel di Makkah. Jamaah itu ternyata merasa sangat ketakutan bila keluar dari penginapan akan tertimpa azab.
Setelah dibawa ke bagian psikiatri KKHI, dia mengaku terbayang-bayang komentar masyarakat Tanah Air. Opini bahwa Makkah adalah tempatnya pembalasan dosa.
Setelah mendapat perawatan, jamaah tersebut akhirnya berani untuk keluar hotel untuk melakukan ibadah di Masjid al-Haram.