IHRAM.CO.ID, MADINAH -- Linjam adalah singkatan dari perlindungan jamaah. Divisi ini dibentuk dalam upaya memberikan rasa aman bagi jamaah haji Indonesia berada di Tanah Suci. Secara umum, ada puluhan hingga 100-an anggota Linjam. Mereka berasal dari anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Mereka ini sengaja direkrut Kementerian Agama (Kemenag) untuk membantu melayani jamaah haji. Anggotanya laki-laki dan perempuan. Di Madinah, mereka ditempatkan di berbagai sektor, seperti Sektor 1-5, Sektor Khusus (Seksus) Nabawi, Daerah Kerja (Daker), Sektor Birhij, dan lainnya.
Khusus untuk anggota Linjam perempuan, mereka menyebutnya dengan Srikandi Linjam, sedangkan bagi para prianya, mereka menyebutnya Arjuna Linjam.
Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika, mencoba mengangkat pengalaman mereka selama kurang lebih 20 hari melayani jamaah haji. Berikut ini pengalaman Endah Setyaningrum, anggota polwan.
Perempuan kelahiran Jombang pada 8 September 1981 ini, merupakan salah satu anggota Linjam yang gesit. Seluruh petugas haji juga gesit-gesit. Mereka sudah dilatih untuk membantu dan melayani jamaah haji.
Bagi Endah, kenangan yang paling berkesan melayani jamaah haji adalah saat mendampingi jamaah haji berusia lanjut. “Ada seorang ibu-ibu yang usianya di atas 60 tahun, dengan daya ingat yang sudah berkurang dan tenaga terbatas, serta tak bisa bahasa Indonesia, datang ke Seksus Nabawi sambil menunjukkan ke kakinya. Tidak memakai sandal,” ujarnya.
Jamaah haji dari berbagai negara, bersama-sama bersiap menunaikan ibadah shalat Jumat, di Masjid Nabawi, Madinah, Jumat (26/7). Sambil menunggu waktu shalat jumat dimulai, jamaah memperbanyak ibadah sunah seperti zikir, baca Alquran, dan lainnya.
Karena kasihan dengan kondisi si ibu yang sudah sepuh itu, anggota linjam lainnya bergegas mencarikan sandal pengganti. Dan setelah diberikan sandal pengganti, sang nenek ini rupanya minta diantar karena tidak tahu alamat hotelnya. “Ya, setelah kamu lakukan pengecekan, ternyata alamat hotelnya cukup jauh, dan akhirnya diantar,” ungkapnya.
Selama dalam perjalanan mengantar jamaah tersebut, komunikasi yang dilakukan, hanyalah berbincang seadanya, terkadang pakai bahasa isyarat. Dengan bahasa isyarat, nenek asal Medan itu memahami maksudnya. Demikian pula sebaliknya.
Sang nenek pun diantar hingga ke hotel. Sesampainya di hotel, kata Endah, ternyata tidak mau berpisah dengan dirinya. “Nenek tersebut mengira saya adalah cucunya, sehingga meminta selalu ditemani,” ungkapnya.
Petugas kloter serta jamaah asal Medan pun mencoba membujuk si nenek agar merelakan dirinya berpisah, karena harus melayani jamaah lainnya. Namun si nenek tetap saja menolak. “Intinya saya diminta menemani,” kata dia.
Terminal haji di Bandara Jeddah, Arab Saudi
Akhirnya ia pun menemani dan mencoba berbincang-bincang dengan hati, akhirnya si nenek sadar dan mau ditinggal ‘cucunya’ ini. Endah sangat terharu saat berpisah dengan si nenek. “Saya merasa beliau adalah nenek atau orang tua saya sendiri. Saya harus melayani dan membimbingnya, menemaninya setiap saat,” katanya terharu.
Kejadian serupa ia alami ketika mengantar seorang jamaah dari Kabupaten Kampar, Riau. Nenek Isah, namanya. “Beliau tahunya, Madinah ini adalah kampungnya. Sehingga begitu ketemu, saya dianggap cucunya. Bahkan saat saya antar sampai ke pemondokan, beliau nggak mau berpisah. Sampai nangis-nangis meminta saya untuk menemaninya,” kata dia.
Walaupun sejumlah kendala ia alami saat melayani jamaah, namun itu dianggapnya sebagai tantangan dan peluang. “Semua selalu ada hikmahnya untuk kita belajar. Tantangan yang kita hadapi semacam ujian harus diselesaikan. Insya Allah, Semoga Allah memberi kemudahan kita semua untuk memberikan layanan terbaik bagi jamaah,” ujarnya.