IHRAM.CO.ID, JAKARTA— Jamaah haji sudah berada pada puncak ibadah haji, wukuf tepatnya pada Sabtu (10/8) di Padang Arafah. Rukun haji yang satu ini tidak bisa ditinggalkan.
"Wukuf di Padang Arafah ini menjadi keniscayaan yang tidak dapat ditawar sehingga mereka yang sakitpun harus dibawa ke Arafah untuk melaksanakan safari wukuf," kata ahli kesehatan masyarakat Pusat Kesehatan Haji (Kemenkes), Ustaz Harun Al Rasid Sulaiman kepada Republika.co.id, Jumat (9/8).
Ustaz Harun yang juga aktif mengisi kajian di masjid-masjid Nusa Tenggara Timur (NTT) mengatakan, dan siapa saja jamaah yang melewatkan wukuf di Arafah maka tidak sah ibadah hajinya.
Apalagi, kata dia, jika kewajiban haji sudah diabaikan, dan larangan sudah diterjang tanpa merasa bersalah, anjuran untuk berbuat baik tak didengar lagi "Maka keseimbangan tatanan masyarakat akan terganggu dan kita berada dalam goncangan yang merugikan masyarakat secara luas," katanya.
Ustaz Harun menuturkan, di Padang Arafah ini jamaah bersimpuh dengan pakaian ihram, selembar kain tak berjahit yang dililitkan ke tubuh, laksana mayat yang akan menghadap Sang Khaliq, tak membawa atribut, pangkat, dan kedudukan serta status sosial. "Prinsip persamaan derajat dan kedudukan Almusawah inilah yang tercermin dalam ibadah haji," katanya.
Pada saat wukuf itulah, tutur dia, semua manusia yang ada di Padang Arafah itu diajarkan untuk tidak mementingkan ego masing-masing dan sebaliknya peduli kepada urusan banyak orang. Di sana setiap jamaah dituntut bisa berbagi dengan sesama.
"Menolong mereka yang lemah, menunjukan jalan bagi mereka yang tersesat, berbagi kesempatan di tengah segala sesuatu yang serba sempit dan terbatas," katanya.
Menurut dia, alasan itulah seorang hamba dibiasakan menahan diri dari dorongan syahwat dalam rangka makin mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
Karena pada akhirnya, kata dia, semua manusia hanya membawa selembar kain kafan untuk menghadap Tuhan dan pada saat wukuf itulah jamaah diajarkan tentang kesadaran terhadap hal tersebut. "Terhadap kematian yang sering kita takutkan atau kita lupakan atau pura-pura lupa dan tidak mau mengingatnya," katanya.
Di tempat wukuf itu juga, kata Ustaz Harun, jamaah dibiasakan untuk meningkatkan ketundukan pada kehendak Allah, menekan ego masing-masing dan membiasakan diri untuk hidup apa adanya. "Bukan hidup apa-apa ada dari sumber yang tidak jelas asal-usulnya," katanya.
Untuk itu pada saat wukuf, ujar dia, jamaah diminta sebanyak-banyaknya berzikir mengingat Allah agar hati menjadi tenang, damai, khusyuk. Karena pada saat itulah sesungguhnya puncak kebahagiaan sejati manusia tatkala diri ini merasa begitu dekat kepada Allah.
"Selalu mengingat Allah dalam setiap situasi dan akhirnya mampu berakhlak dengan akhlak Allah takhallaqu bi-akhlaaqillah yang terefleksikan dalam perilaku sehari-hari yang santun, taat pada aturan, dan berakhlak mulia dengan sesamanya," katanya.
Karena kata dia, ketenangan jiwa tersebut sesungguhnya dapat dicapai melalui zikir sebagaimana firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’du [13]: 28).
Ustaz Harun menyarankan, jamaah memperbanyak berzikir untuk menyadari betapa manusia kecil di hadapan Sang Mahakuasa, Allah SWTdan menegaskan kembali keagungan Allah seraya menyambut panggilannya untuk berhaji. "Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda wannimata laka wal mulk laa syarika lak."