Selasa 26 Nov 2019 05:53 WIB

Putusan Perdata FT Ditunda, Sidang Ricuh

Sidang Putusan Perdata FT Ditunda, Sidang Ricuh

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Muhammad Subarkah
Majelis Hakim menunda sidang putusan perdata aset First Travel yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Senin (25/11).
Foto: Republika/Rusdy Nurdiansyah
Majelis Hakim menunda sidang putusan perdata aset First Travel yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Senin (25/11).

IHRAM.CO.ID, DEPOK — Pembacaan vonis gugatan perdata aset korban penipuan umrah First Travel (FT) di Pengadilan Negeri (PN)Kota Depok, Senin (25/11), ditunda hingga 2 Desember mendatang. Pembacaan keputusan penundaan oleh majelis hakim terserbut sempat menimbulkan kericuhan di ruang sidang.

Sidang yang berlangsung hanya lima menit itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Ramond Wahyudi. Ia menyatakan menunda sidang putusan perdata aset First Travel dengan alasan musyawarah majelis hakim belum selesai. "Ditunda karena majelis hakim belum selesai melakukan musyawarah," kata Ramond dalam sidang di PN Depok, Senin (25/11).

Penundaan tersebut menyebabkan puluhan jamaah yang hadir kecewa dan berteriak meminta keadilan. Salah satu jamaah perempuan bahkan sempat pingsan. Salah seorang anggota jamaah, Zulherial, yang jauh-jauh datang dari Kota Palembang ke Depok untuk mengikuti sidang tersebut mengaku emosi dan empat memukul meja karena kesal sidang diundur.

"Intinya, kami meminta ganti rugi apa yang telah kami setorkan kepada First Travel adalah hak kami. Kalau memang dilelang, serahkan kepada kami karena aset itu bukan milik negara," kata Zulherial dengan gusar.

Pensiunan polisi ini mengaku telah menyetorkan uang senilai Rp 84 Juta untuk memberangkatkan keluarganya umrah ke Tanah Suci. Namun, Zulherial tak menyangka akan menjadi korban penipuan. "Kami akan terus berjuang karena ini adalah jerih payah dari awal. Bagaimanapun caranya, kami meminta uang kami kembali," kata Zulherial.

Eni Rifqiah, koordinator jamaah, mengatakan, pihaknya telah menunggu lama vonis perdata kasus tersebut. Namun, hanya dalam waktu lima menit, hakim menyatakan menunda pembacaan vonis.

"Kami semua tentu kecewa. Bisa dibayangkan, katanya mau musyawarah, tapi mengapa ditunda? Bayangkan, kami sudah mengikuti sidang ini sejak 4 Maret 2019 lalu atau kurang lebih tujuh bulan lamanya," kata Eni selepas sidang.

Dia menambahkan, pihaknya telah melewati masa sulit, mulai dari sidang pidana hingga mengajukan gugatan perdata. Seluruh mekanisme hukum ditempuh demi mendapatkan hak ribuan korban penipuan umrah First Travel.

"Saya mewakili 3.207 jamaah dengan total kerugian kurang lebih Rp 49 miliar. Kami di sini tanpa kuasa hukum sepeninggal kuasa hukum kami yang berjuang bersama meninggal dunia beberapa waktu lalu. Jadi, kami memperjuangkan kelompok kami," ujar Eni.

Gugatan perdata tersebut didaftarkan ke Pengadilan Negeri Depok pada 4 Maret 2019 lalu dengan klasifikasi perkara wanprestasi. Gugatan itu diajukan oleh Anny Suhartaty, Ira Faizah, Devi Kusrini, Zuherial, dan Ario Tedjo Dewanggono dengan kuasa hukum Riesqi Rahmadiansyah.

Isi gugatan itu meminta PN Depok mendesak hakim menyatakan para tergugat, yakni bos First Travel Andika Surachman serta turut tergugat kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan kepala Kejaksaan Negeri Depok, telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Tergugat diminta memberikan ganti rugi kepada para penggugat berupa kerugian materiel sebesar Rp 49.075.199.560. Perinciannya, kerugian penggugat I sebesar Rp 20.034.300.000, kerugian penggugat II sebesar Rp 2.073.500.000, kerugian penggugat III sebesar Rp 26.841.496.560, kerugian penggugat IV sebesar Rp 84.000.000, dan kerugian penggugat V senilai Rp. 41.903.000.

Sidang perdana kemudian digelar pada 20 April 2019. Pihak-pihak yang beperkara sempat melakukan mediasi pada April 2019, tetapi tidak mencapai titik temu. Sebelum memasuki agenda putusan kemarin, sidang terakhir kasus perdata itu digelar 11 November 2019 lalu dengan agenda pembacaan kesimpulan dari turut tergugat.

Meninggal

Kasus ini sempat diwarnai protes atas pinjam pakai yang dilakukan Kejaksaan Negeri Depok terhadap lima mobil mewah sitaan kasus tersebut. Dalam kejadian pada Juli 2019 itu, pengacara Riesqi Rahmadiansyah mempersoalkan aset yang digunakan tersebut.

Protes itu tak dilanjutkan sehubungan meninggalnya Riesqi Rahmadiansyah secara mendadak pada Agustus 2019. Riesqi ditemukan meninggal dalam kamar yang dikunci dari dalam. Tak lama kemudian, Andrasyah Pratama, pengacara selanjutnya yang diserahi tugas, meneruskan gugatan perdata di PN Depok. Namun, ia juga meninggal mendadak.

Sementara itu, Humas PN Depok Nanang Herjunanto menekankan, sidang akan dilanjutkan pada Senin (2/12) mendatang dengan mendengarkan vonis majelis hakim. "Sidang ditunda karena musyawarah majelisnya belum selesai," ujar Nanang kepada wartawan di ruang kerjanya, PN Depok.

Nanang mengatakan, jika nantinya musyawarah selesai, majelis hakim yang diketuai Ramond Wahyudi dan beranggotakan Yulinda Trimurti serta Nugraha Medica Prakarsa akan memutuskan vonis kasus tersebut.

Namun, Nanang mengaku tak mengetahui majelis akan kembali menunda atau sudah memegang hasil dari musyawarah tersebut pada Senin (2/12) nanti. \"Itu kewenangan majelis hakimnya. Kalau sudah selesai (musyawarah), baru bisa diputus,\" ujarnya.

Pada sidang sebelumnya, dua pekan lalu, majelis mengagendakan sidang putusan. Nyatanya, waktu dua pekan belum cukup melahirkan putusan terhadap kasus yang membuat puluhan ribu calon jamaah ini batal umrah.

"Penundaan sidang ini baru satu kali terjadi selama digelarnya sidang perdata sejak Agustus 2019 lalu. Bila merujuk pada mekanisme persidangan, sidang selanjutnya bisa saja tertunda lagi.Tentunya kan perkara itu pada asasnya sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Ya, sebisa mungkin musyawarahnya secepat mungkin," ujar Nanang.

Nanang menyatakan, tak ada batasan waktu kapan seharusnya sidang rampung dilakukan sejak awal sampai akhir putusan. Menurut dia, tak ada asas yang mengikat perihal lama atau tidaknya sidang sebuah perkara itu digelar. “Kalau memang kasusnya sulit dan membutuhkan waktunya lama, ya, kita juga tidak bisa memaksakan. Kalau kasusnya harus cepat selesai juga, tergantung permasalahannya, itu kewenangan majelis," tutur Nanang.

Sebelum sidang kemarin digelar, sejumlah korban First Travel juga keberatan dengan keputusan PN Depok yang dikuatkan Mahkamah Agung awal tahun ini terkait kasus pidana penipuan First Travel. Dalam kasus pidana itu, disebut bahwa sebagian besar aset sitaan dalam kasus itu akan dirampas negara dan sisanya dikembalikan ke sejumlah pihak.

Atas keberatan itu, rencana lelang yang dijadwalkan dua pekan lalu ditunda Kejaksaan Agung. Pihak Kejaksaan Agung kemudian melakukan kesepakatan dengan pihak First Travel untuk nantinya mengembalikan aset sitaan itu ke jamaah.

Sejauh ini belum diketahui secara pasti berapa total aset yang dirampas negara tersebut. Nanang Herjunanto menyatakan tak bisa menjelaskan apakah ditundanya putusan sidang kali ini karena pengaruh ramainya sorotan atas putusan tersebut. "Kami hanya bisa memberikan penjelasan bahwa musyawarah majelisnya belum selesai, kemudian putusannya ditunda," pungkas Nanang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement