Selasa 10 Dec 2019 22:06 WIB

MK Minta Pengacara First Travel Pikirkan Konsekuensi Gugatan

MK minta pemohon gugatan pertimbangakan kesulitan dalam eksekusi pengembalian aset.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Kuasa hukum korban First Travel Pitra Romadoni Nasution (dua kanan) mengikuti sidang panel pendahuluan permohonan di gedung MK, Jakarta,Selasa (10/12).
Foto: Republika/Prayogi
Kuasa hukum korban First Travel Pitra Romadoni Nasution (dua kanan) mengikuti sidang panel pendahuluan permohonan di gedung MK, Jakarta,Selasa (10/12).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) meminta para pemohon uji materi Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP untuk memikirkan konsekuensi dari putusan MK jika gugatan mereka dikabulkan. Para pemohon diminta untuk memperbaiki sejumlah hal yang ada dalam berkas permohonan mereka.

"Jadi Pasal 39 KUHP Anda menambahkan dikembalikan kepada korban, sekarang bayangkan, kalau dikembalikan kepada korban, dalam kasus konkret contohnya yang sudah ada adalah di First Travel itu," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pendahuluan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (10/12).

Baca Juga

Arief meminta pemohon, Pitra Romadoni dan kawan-kawan, memikirkan lebih lanjut permintaan mereka untuk penambahan frasa "dikembalikan kepada korban" pada Pasal 39 KUHP ayat (1). Mereka diminta untuk mempertimbangkan kesulitan dalam pengeksekusian pengembalian aset tersebut kepada para korban dengan kondisi yang ada.

Beberapa kondisi yang perlu dilihat, yakni korban First Travel yang begitu banyak dan aset yang tidak sama jumlahnya dengan uang yang sudah dibayarkan oleh seluruh korban. Hakim Konstitusi juga menyinggung soal maksud dari perampasan aset orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah untuk kepentingan publik yang dimohonkan oleh para pemohon.

"Anda menambah untuk kepentingan publik itu siapa atau setelah dirampas negara, kemudian negara menyerahkan untuk kepentingan zakat misalnya, untuk membangun masjid itu sudah cukup tapi tidak dikembalikan kepada korban atau bagaimana. Ini harus Anda uraikan betul secara jelas," kata Arief.

Menurut Hakim Konstitusi, para pemohon juga harus memikirkan lebih jauh lagi tentang implikasi dari putusan MK nantinya karena putusan MK akan berlaku bagi kasus-kasus lain, tidak hanya kasus First Travel saja. Arief mengatakan, para pemohon mengajukan uji materi kepada MK karena merasa ada ketidakadilan akibat peraturan itu. Para pemohon harus memikirkan dengan betul tentang hal tersebut.

"Itu komplikasi-komplikasi yang harus Anda pikirkan sehingga apa yang Anda mau itu betul-betul memenuhi rasa keadilan dan itu bisa dilaksanakan, karena kalau tidak kemudian susah," jelas Arief.

Hakim Konstitusi lainnya, Saldi Isra, memberikan masukan yang tak jauh berbeda kepada para pemohon. Ia mengatakan, para pemohon harus memikirkan konsekuensi dari apa yang mereka mohonkan ke MK. Jangan sampai, kata dia, permohonan yang diajukan karena diduga ada ketidakpastian hukum justru menimbulkan ketidakpastian hukum lainnya setelah diputus oleh MK.

"Kami Mahkamah tentu menjadi sulit memutuskan kalau apa yang diputuskan itu tidak mungkin diterapkan. Jadi, Anda mengatakan, ini ada persoalan ketidakpastian hukum. Tapi begitu kami putus, ternyata muncul ketidakpastian hukum lain. Seperti itu harus dipertimbangkan dengan baik," kata Saldi.

photo
Sebanyak 20 jamaah korban First Travel (Pajak FT) menyambangi kantor Kementerian Agama (Kemenag). Mereka mendatangi kantor Kemenag untuk menyampaikan surat permohonan audensi antara jamaah korban First Travel dan pihak Kementerian Agama.

Hakim Konstitusi juga mempertanyakan salah satu poin dalam permohonan pemohon yang terkait adanya potensi putusan kasus First Travel ini sebagai yurisprudensi atau bahan pertimbangan hakim ke depan. Menurut Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, putusan First Travel adalah putusan yang kasuistis dan baru satu putusan dengan jenis seperti itu.

"Artinya masih satu putusan yang belum tentu bisa itu menjadi pedoman bagi hakim-hakim selanjutnya. Baru satu putusan yang seperti ini," jelas dia.

Karena itu, menurut Manahan, tidak bisa pemohon langsung memedomani putusan tersebut untuk merombak KUHP maupun KUHAP. Karena untuk merombak keduanya tidak bisa semudah itu, terlebih kasus seperti First Travel tidak sering terjadi. Beda soal jika memang hal serupa sudah terjadi berkali-kali.

"Jangan mencari momen seperti ini. Jadi harus diperhatikan karena satu putusan ini punya pertimbangan tersendiri. Karena tidak banyak kasus seperti ini. Kita bisa ambil satu general kalau sudah banyak kasus. Nah, korbannya selalu dilecehkan, tidak diberi haknya atau benar-benar selalu dirugikan," ungkapnya.

Pengacara korban penipuan First Travel, Pitra Romadoni Nasution, mengatakan, ada dua sifat kerugian konstitusi yang ia lihat dari Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP dalam putusan First Travel. Dua sifat itu, yakni faktual dan potensial.

"Kerugiannya itu bersifat faktual dan potensial. Potensial itu kita sebagai advokat wajib menguji ini karena ditakutkan kemudian hari bakal ada putusan-putusan yang menerapkan pasal tersebut, merampas aset korban tindak pidana," jelas Pitra usai sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (10/12).

Karena itu, ia meminta MK untuk mempertegas frasa dalan pasal-pasal tersebut. Salah satunya yang terkait Pasal 39 KUHP, yakni boleh hak milik korban tindak pidana dirampas kepada negara sepanjang hal tersebut tidak merugikan korban tersebut. Menurutnya, perampasan hak milik korban tidak boleh dilakukan karena ada Pasal 28 A UUD 1945.

"Dalam penerapan pasal tersebut kita khawatir bakal ada putusan-putusan seperti ini lagi. Kita ambil contoh seperti putusan kasus First Travel tersebut agar dipertegas lagi pasal penerapan dalan kasus First Travel, yakni Pasal 39 KUHP dan 46 KUHAP," katanya.

photo
Pembagian Aset First Travel

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement