REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Meski virus corona jenis baru (Covid-19) memaksa umat Islam menunda ibadah ke Tanah Suci, namun gelora kesucian Ka’bah tak pernah redup ataupun luntur bagi umat Muslim.
Bagi umat Muslim, Tanah Suci yang berada di Makkah dan Madinah memiliki makna yang mendalam. Hampir seluruh umat Muslim mengidam-idamkan pergi beribadah ke Tanah Suci yang di dalamnya terdapat Ka’bah, baitullah (‘rumah’ Allah).
Bagi hamba-hamba Allah yang beriman, bersabar dan berupaya untuk dapat mewujudkan pergi beribadah ke Ka’bah akan selalu dilakukan. Tak terecuali di saat wabah Covid-19 melanda, hanya upaya, sabar, dan doa yang terus dihaturkan untuk dapat menginjakkan kaki di sana.
Pesona Ka’bah dan Kota Suci setidaknya tergambarkan dalam buku Mekkah karya Zuhairi Misrawi. Aktivis Nahdlatul Ulama yang juga alumni Al-Azhar Mesir ini menceritakan bagaimana pengalamannya saat menginjakkan kaki ke Tanah Suci lewat buku yang ditulisnya.
Dia menjabarkan, Ka’bah bukanlah bangunan biasa yang tidak memiliki kesan penting. Ka’bah menjadi inspirasi bagi siapapun yang hendak mengambil hikmah yang tersimpan dalam bersujud kepada Allah.
Ka’bah merupakan simbol ketauhidan. Meski, ketauhidan bukanlah sesuatu yang dapat dirasionalkan sebagaimana perdebatan para ahli kalam di dalam kitab-kitab klasik seperti Al-Igi dalam kitabnya berjudul Mawaqif dan juga Al-Asy’ari dalam kitabnya berjudul Maqalat al-Islamiyyun.
Di sisi lain, secara historis, pesona Ka’bah juga tak kalah mentereng. Ka’bah memiliki nilai sejarah yang kuat, bahkan tempat ini sangat identik dengan Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Kedua Nabi inilah yang mendapatkan mandat langsung dari Allah untuk mendirikan Ka’bah.
Meskipun demikian, dalam Tarikh Makkata karya Ali Al-Hasani disebutkan sebuah pendapat lain mengenai historikal Ka’bah pra-Ibrahim. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa banyak riwayat yang memberikan penjelasan perihal sejarah Ka’bah yang berasal dari umat-umat terdahulu sebelum Ibrahim.
Setidaknya dalam kitab pertama Tarikh Makkata itu disebutkan, umat-umat terdahulu itu adalah malaikat yang bertindak bagi hadirnya Ka’bah sebelum Allah menciptakan bumi. Pendapat ini juga didasari dengan sabda Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 30.
Dalam kitab-kitab tafsir, baik tafsir klasik maupun kontemporer tentu saja banyak perbedaan yang ada mengenai ayat ini. Namun dalam kitab tersebut, dijelaskan bahwa ketika Allah hendak menciptakan khalifah di muka bumi, maka mereka (malaikat) bertanya kepada Allah.
Pertanyaannya seputar apakah Allah akan menciptakan orang-orang yang merusak dan menumpahkan darah di muka bumi? Mendengar itu, Allah SWT murka kepada para malaikat. Melihat hal itu, para malaikat memohon ampunan sambil mendatangi singgasana Allah sebanyak tujuh kali.
Jumlah tersebut kemudian sangat serupa dengan bagaimana ritual thawaf (mengelilingi Ka’bah) sebanyak tujuh kali. Setelah itu, Allah memerintahkan kepada malaikat untuk membangun sebuah rumah yang nantinya akan diperintahkan kepada setiap makhluk-Nya untuk melakukan ritual (ibadah) sebagaimana yang dilakukan para malaikat.
Jika menelisik sejarah Ka’bah, tentunya sangatlah panjang dan luas. Bahkan terdapat juga pendapat bahwa Ka’bah juga mulai dibangun oleh Nabi Adam dan putranya yang bernama Syits.
Namun demikian, di balik panjangnya sejarah yang meliputi Ka’bah dengan segala argumentasi yang melatarbelakanginya, satu hal yang selalu pasti adalah pesona Ka’bah tak pernah lekang oleh waktu. Kita bisa melihat di era kolonial, di saat transportasi belum secanggih sekarang, jamaah haji kala itu selalu penuh dari masyarakat dari dunia-dunia.
Pun demikian, saat harga tiket pesawat belum lama ini melonjak, para jamaah umrah maupun haji di Tanah Air tak ‘kapok’ untuk pergi beribadah ke Tanah Suci. Namun menjadi beda saat wabah Covid-19 melanda, harapan pergi ke Tanah Suci memang harus terhenti sejenak. Umat Muslim kemudian saling mendoakan agar wabah ini segera berakhir dan Ka’bah kembali dipenuhi para jamaah yang beribadah.