Selasa 07 Apr 2020 22:59 WIB

Jatuh Bangun Jeddah Sebagai Pusat Perdagangan Eropa-Asia

Jeddah pernah menjadi pusat perdagangan antara Eropa-Asia.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan / Red: Nashih Nashrullah
Jeddah pernah menjadi pusat perdagangan antara Eropa-Asia. Pintu masuk Kota Tua Jeddah merupakan sisa bangunan benteng yang mengelilingi Al Balad.
Foto: Darmawan/Republika
Jeddah pernah menjadi pusat perdagangan antara Eropa-Asia. Pintu masuk Kota Tua Jeddah merupakan sisa bangunan benteng yang mengelilingi Al Balad.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Layaknya sebuah pelabuhan, pada masa itu perdagangan juga menjadi aktivitas berkelanjutan di Kota Jeddah, Arab Saudi kini. 

Hal tersebut terus berlanjut setidaknya untuk waktu yang sangat panjang sejak didirikan sebagai kota. 

Baca Juga

Utamanya, dimulai ketika bangsa asing mulai meramaikan pelabuhan tersebut dan kedatang Portugis ke Laut Merah.

Mengutip buku A History of Jeddah: The Gate to Mecca, karya Ulrike Freitag, Portugis yang datang ke Samudra Hindia dan menjadikan Laut Merah pada 1513 M sebagai salah satu jalurnya, secara langsung memberi pengaruh pada penguatan laut dan pelabuhan Jeddah. 

Hal ini, nyatanya juga meningkatkan keterlibatan angkatan laut Ottoman di laut Merah, bahkan hal itu disebut-sebut sebelum kekalahan Mamluk di tangan mereka.

Dengan adanya keterlibatan kekaisaran baru tersebut, nyatanya menguntungkan para pedagang muslim saat itu. Sebab, perdagangan yang dilakukan bisa mencakup sebagian besar wilayah Eropa, Asia Barat dan Afrika Utara.  

Sebagai contoh, Ismail Abu Taqiyya dari Mesir yang aktif di Kairo pada masa tersebut juga menempatkan kepentingannya di Jeddah. 

Terlebih, untuk memenuhi kebutuhan rempah yang menipis di pihaknya dan menggairahkan penjualan kopi yang mulai muncul pada saat itu. 

Perdagangan Kopi di Jeddah tersebut nyatanya juga menarik perhatian bangsa Eropa. Utamanya pada kedudukan Ottoman sejak 1550-an, dan secara tidak langsung, Jeddah saat itu menjadi pusat perdagangan utama di laut Merah Selatan hingga ratusan tahun kemudian.  

Namun demikian, gejolak ekonomi pada akhir abad ke-18 di Jeddah terjadi seiring pergolakan suasana di daerah tersebut. 

Ekspedisi Napoleon ke Mesir (1798-1801), lalu penaklukan kembali Ottoman atas Mesir dan ekspansi pasukan Wahabi di Hijaz (1803-1813) menyebabkan perdagangan dan kunjungan para ziarah pada saat itu menurun drastis.  

Penurunan tersebut, bukan hanya karena peristiwa militer di Mesir, melainkan juga karena adanya blockade perdagangan di laut Merah oleh Inggris. 

Untungnya, pada 1801 (setelah kepergian pasukan Prancis dari Mesir) perdagangan di laut Merah dan Jeddah utamanya bisa meningkat kembali.  

Akan tetapi perlu dicatat, pada 1803 M, pendudukan Wahabi dari Najd mulai menduduki Makkah dan juga mengepung Jeddah. Meskipun hal tersebut hanya sementara, hingga akhirnya mulai dihidupkan kembali oleh Ottoman. 

Pada 1803 hingga 1840 memang kerap kali terjadi pergolakan di Jeddah dan sekitarnya, menyusul pihak Saudi dan Mesir yang memiliki berbagai konflik.   

Tak berlangsung lama, pada 1840-1858 tepatnya pada era Ottoman (Tanzimat), pasukan Mesir mundur pada 1840 Dari Yaman dan Najd hingga sebagian Saudi kini. Kedudukan tersebut, berlangsung cukup lama. 

Namun, pada November 1908 pemilihan bagi parlemen Ottoman digelar di Jeddah dan Makkah. Dari kesempatan itu, Syarif Husayn terpilih dan akhirnya bersumpah setia pada Sultan Abdulhamid.  

Pada tahun-tahun setelahnya Jeddah juga terlibat baik secara langsung maupun tidak, dari mulai Young Turks Revolution (Juli 1908), akhir kekasisaran Ottoman dan juga akhir dari perang dunia 1. Hingga akhirnya, pada dekade setelah itu, Saudi mulai membentuk pemerintahan dan aturannya di Jeddah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement