REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Serat atau lebih tepatnya ‘Suluk Gatoloco’ sangat terkenal dalam masyarakat Jawa. Serat ini dikenal karena sisinya yang ‘nyinyir’ terhadap Islam dan banyak isi di dalamnya yang bersikap pejoratif terhadap ajaran dan orang Islam. Termasuk di antaranya juga adanya persepsi ketidaksukaannya terjadap sosok santri dan Makkah.
Para penelitii belum sepakat mengenai kapan serat ini dibuat. Ada yang mengatakan sekitar dekade tahun 1860-an ada yang mengatakan lebih muda lagi. Ada juga pihak yang mengatakan serat ini dibuat dan disebarkan atas sepengetahuan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang saat itu memang terus mengawasi haji dan umat Islam dengan sangat ketat. Mereka kala itu sangat trauma setelah terjadi perang besar di Jawa, yakni Perang Diponegoro (1825-1830).
Serat Gatoloco ini pernah semarak jadi perbincangan hingga massa pertengahan 1960-an. Serat ini makin seru diperdebatkan pada masa-masa ‘perang ideologi ‘politik antara sayap komunis dan sayap Islam di Indonesia kala itu. Akhirnya, serat ini setelah terjadinya pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru’ secara diam-diam dilarang atau diawasi peredarannya.
Namun setelah periode zaman reformasi serat ini menjadi mudah didapatkan. Serat ini misalnya sangat mudah dibeli pada kios buku yang ada tak jauh jauh dari Alun Alun Kraton Surakarta. Serat ini didapat sudah dalam bentuk stensilan atau copy-an baru. Tak hanya itu serat sejenis lain seperti Darmagandul pun bisa di dapatkan di sana bersama buku-buku klasik lainnya yang terkait budaya Jawa. Kios buku itu bagi yang suka baca memang sangat mengasyikan.
Dalam buku ‘Naik Haji Di Masa Silam’ yang ditulis Henri Chambert –Loir diceritakan seperti ini:
Tokoh utama dalam Suluk Gatoloco kerapa bedebat agama dengan orang-orang santri yang selalu kalah. Tokoh utama, Gatoloco, memperlihatkan kepicikan dari penafsiran kata-kata dan konsep agama secara harfiah, yang berarti sikap budak terhadap mode pikiran asing (yaitu Arab), dibandingkan penafsiran bebas, terbuka,dan kiasan yang terus mencari makna tersembunyi dalam kata-kata (melalui persamaan bunyi). Dengan kata lain Gotoloco (ingin) membuktikan kelebihan aliran mistik jawa atas ajaran asing.
Henri kemudian mengutip pendapat sejarawan Ben Anderson. Dalam bukunya, Ben Anderson menilai: Sebagain besar suluk itu merupakan polemik yang amat tajam melawan ortodoksi Islam yang oleh pengarang anonim jelas dipandang sebagai sikap picik, dangkal formalis. Dalam perdebatan ini Mekkah misanya oleh Gatoloco dianggap bukan pusat dunia sebagaimana dipercaya seorang santri, melainkan sebagai sebuah negeri ‘yang dikutuk Allah’. Teks ini mengutarakan dengan kasar dan jorok beberapa gagasan yang juga ditemukan dalam konteks lain.
Sikap pejoratif serat Gatoloco terhadap Islam, Mekkah, dan haji diantaranya terjejak dalam perdebatannya bersama tiga orang santri. Isinya seperti ini:
Ini dibalas oleh para santri demikian: “Mekkah adalah pusat dunia! Kamu betul tidak tahu di mana pusat dunia? Tempatnya di Tanah Suci, di mana hujan turun hanya sekali setahun. Di sana berdiri Ka’bah yang matahari saja tidak lewat di atasnya.” Ki Gotoloco bertanya: “Apa itu Ka’bah?”—“Ka’bah adalah cadas raksasa, Nabi Ibrahim adalah tuannya, dan kenapa Ka’bah didirikan di situ? Untuk menunjukkan pusar bumi. Orang Islam bersujud di hadapannya, di segala penjuru dunia.
Kata Ki Gotoloco,” Sekali lagi kalian salah mengerti kebenaran. Tanah Mekkah dikutuk Allah. Karena orang Mekkah dihadapan sesuatu yang bukan kebenaran Illahi, maka laki-laki dan wanita harus menderita dari angkara murka Hyang Widi (..). Kalian bersikeras menjuluki Mekkah sebagai pusar dunia. Dari mana belajar kalian? Kalian hanya mengulang-ulang saja. Apakah sudah pernah memeriksa tempatnya sendiri?” Di balas ketiga santri,”Demikianlah dikatakan dalam kitab-kitab kami.”
Ki Gatoloco tertawa dan menjawab dengan ketus,”Kalian santri penghuni neraka, karena percaya apa saja yang didengar. Kalian demikian sesat sampai mempercayai tinta dan kertas, tetapi melalaikan pesan tentang dunia lahir batin.