REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Pada masa revolusi atau perjuangan kemerdekaan, memang pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, sempat mengeluarkan fatwa bila pergi haji ke Makkah tidak perlu dilakukan. Alasannya, negara dalam keadaan perang atau bahaya. Menurut dia, pergi haji pada saat itu tidak diutamakan dahulu. Membela Tanah Air menjadi kewajiban lebih fardhu karena mencintai Tanah Air adalah sebagain dari iman.
Namun, apakah fatwa ini benar-benar diikuti secara total? Ternyata tidak. Apalagi, kala itu ada iming-iming hadiah dari pihak kolonial kepada para tokoh umat (ulama) bisa naik haji atas biaya yang ditanggung pemerintah kolonial Belanda. Imbalannya, ulama yang mau pergi ke Makkah harus memberi dukungan politik. Hal ini terkait dengan kebijakan petinggi pemerintah Belanda Vander Plaz tentang rencana pembentukan negara serikat (RIS) di Kalimantan, Sulawesi, dan kawasan Indonesia timur lainnya.
Dalam buku Naik Haji di Masa Silam karya penulis Prancis, Henri Chambert Loir, jejak ketidakpatuhan terhadap fatwa ulama tersebut terekam. Jadi, jangan heran bila pada masa sekarang banyak orang, atau bahkan tokoh Islam, tidak patuh kepada fatwa ulama atau yang berhimpun di MUI. Ini misalnya yang terkait dengan penanganan pandemi corona.
Pada zaman dahulu, meski ada fatwa dari ulama sekelas KH Asy’ari agar jangan dulu pergi haji ke Makkah sekalipun, banyak pihak yang tidak menghiraukannya. Apalagi, dalam soal ini sudah ada nuansa lain, yakni terkait perbedaan kepentingan materi dan politik. Maka, fatwa sebagus dan semasuk akal sekalipun tetap banyak yang tak dihiraukan atau diacuhkan.
Alasannya perbedaan itu terindikasi sangat klasik: fatwa ulama yang satu tidak bisa mengikat ulama yang lain. Ini mengacu pada perbedaan sikap saling menghormati bila ada perbedaan pendapat atau fatwa dari para ulama pelopor mahzab fiqih, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Di satu pihak memang perbedaan fatwa menandakan adanya sikap saling menghormati (toleransi), tetapi di satu sisi lain juga cermin dari adanya perpecahan yang akan berimbas negatif, terutama bila sudah sampai ke umat secara luas.
- Keterangan foto: Jamaah haji diperiksa kelengkapan identitasnya oleh pegawai imigrsi tahun 1938 di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ironisnya, kisah ketidakacuhan atas fatwa KH Hasyim Asy’ari agar jangan berhaji ke Makkah sebab negara dalam keadaan genting karena ada penjajah yang datang tersebut dilakukan kepada sosok seseorang yang terindikasi sebagai ahli agama Islam atau ulama yang berasal dari Kalimantan. Sosok itu berma KH Abuddsamad. Di tengah riuh gejolak perang kemerdekaan, dia tetap saja berangkat ke Makkah untuk naik haji.
Bahkan, tak hanya pergi haji, kepergiannya ke Makkah itu ia kisahkan melalui tulisannya yang bertajuk "Melawat ke Makkah". Karena keterbatasan space pada tulisan ini, penulis sertakan tulisannya sebagian saja, yakni penggalan cerita naik haji KH Abdussamad tersebut dalam rute awal dengan naik perahu milik maskapai Belanda, yakni ketika hendak berlayar dari Tanjung Priok ke Colombo. Perjalanan itu dilakukan pada 1367 H (1947 M). Kisahnya begini.
Pada 7 Syawal, 1367 H, kami naik kapal Prometheus kepunyaan Ocean di Tanjung Priok. Ada 1.000 lebih jamaah haji.
Tidak semudah yang disangka, jamaah masuk hanggar Tanjung Priok. Sibuknya bukan alang kepalang. Jamaah berlaku tidak sabar, polisi bertindak keras. Yang menderita jamaah itu.
Sesudah masing-masing disuntik (kolera, tifus, dan cacar), sepuluh demi sepuluh dibolehkan naik kapal. Di atas kapal diperiksa pas dan tiket, lalu diberi kartu untuk mengambil makanan.
Oleh karena tempat di kapal sebagian sudah ditempati jamaah dari Surabaya dan Semarang — (fakta ini mengejutkan ternyata sebagian orang Islam di Jawa Timur sendiri tidak menaati fatwa larangan berhaji dari KH Hasyim Asy’ari yang berdomisili di wilayah yang sama dan menjadi tokoh pendiri Nahdlatul Ulama di mana ormas ini sangat eksis di sana--Red)— untuk jamaah dari Jakarta mereka juga tak cukup mendapat tempat lagi.
Pegawai kapal menerangkan, tiap-tiap jamaah hanya mendapat 90 x 180 cm. Tetapi, masih banyak jamaah yang hanya mendapat 60 x 100 cm. Itu pun masih ada sekitar 150 orang tidak dapat tempat. Masing-masing berusaha mencari tempat di bawah tangga, di balik-balik mesin pengangkat, dan sebagainya.
Yang dinamakan tempat di kapal haji itu bukannya sebagai di dalam bangsa, tetapi di tempat di dalam palka, biasanya tempat barang-barang.
- Keterangan foto: Jamaah haji berada di atas palka kapal dalam pelayaran ke Makkah pada tahun 1938.
Satu palka (ruang) itu sampai seratus orangnya. Karena udara dalamnya kurang sehat. Baunya 1.001.
Apalagi kalau kebetulan gelombang besar, banyak orang yang mabuk laut.
Ahli saya dan saya yang tidak tahan menderita bau yang 1.001 itu, memilih mengambil tempat di atas paka. Ada malang, kerap kali turun hujan; sibuk pula mencari tempat berteduh. Untungnya hujan di laut tidak berhari-harian, kadang-kadang hanya 10-15 menit.
Barang-barang diseling dengan mesin. Tiba di atas kapal masing-masing jamaah memilih barang-barangnya. Sibuknya tidak tepermanai. Banyak barang yang rusak diinjak oleh kawan yang memilih barangnya.
Petangnya pukul 6.30 baru kapal berangkat. Di kuala ia bermalam dan besoknya pukul 6 pagi meneruskan perjalanan.
- Keterangan Foto: peziarah haji dengan kapal Rotterdam lloyd dalam perjalanan ke Mekkah
Tanggal 27 Oktober 1951
*****
Jadi, itulah kisah haji pada zaman gejolak revolusi kemerdekaan. Sekali lagi, di balik kisah ini ada pesan betapa sebagian umat Islam memang tidak hirau akan fatwa, sekalipun itu datang dari ulama besar seperti KH Hasyim Asy’ari. Makanya di satu sisi ini cerminan dari zaman dahulu umat Islam memang gampang dipecah belah oleh kolonial yang punya agenda politik.
Maka adanya fakta ini membuat saya terpekur dan mengakui: wajar kalau Gubenur Jendral Hindia Belanda, De Jonge tahun 1930-an, berani mengklaim bila Belanda akan berada negeri ini selama 3,5 abad lagi!
Benarkah pula negeri ini benar-benar sudah merdeka hari ini?
Wallahualam.