REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah, dia merencanakan proyek perluasan Masjid Nabawi di Madinah. Meski dia sudah menyiapkan uang ganti rugi, ada seorang sahabat Nabi yang menolak rumahnya terkena gusuran perluasan Masjidil Haram.
Sahabat tersebut adalah Abbas bin Abdul Muthalib, yang merupakan paman Nabi. Karena itulah, terjadi percakapan di antara mereka.
"Wahai Amirul Mukminin, urusan antara saya dan Anda akan kita selesaikan di pengadilan. Kalau begitu, siapa kira-kira yang Anda pilih untuk menyelesaikan masalah ini?" tanya Abbas.
"Ketahuilah, bukan pengadilan yang datang kepada kita. Sejatinya, kitalah yang datang menghadap ke pengadilan. Jangan khawatir, saya pasti datang dalam sidang di pengadilan itu," kata Umar.
Tidak lama kemudian, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mendatangi pengadilan sendirian. Dia dihadapkan di ruang sidang.
Saat itu, persidangan dipimpin oleh Syarih. Jabatannya pada masa khalifah Umar bin Khattab sebagai gubernur sekaligus hakim peradilan Kota Madinah.
Pimpinan sidang kemudian mendengarkan duduk permasalahannya yang disampaikan oleh Abbas bin Abdul Muthalib sebagai pihak yang menuntut, lalu disusul oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Setelah kedua belah pihak mengutarakan masalahnya, hakim mengangkat kepalanya dan akan memberi keputusan. Dia berkata, "Wahai Amirul Mukminin!"
Umar langsung memotong. "Interupsi, hakim yang bijaksana. Jangan panggil gelar amirul mukminin dalam sidang pengadilan ini. Cukup panggil saya Umar."
"Baiklah, wahai Umar," kata hakim.
"Sesunguhnya Daud AS pernah berniat memperluas Masjid Al Aqsa. Lalu, Allah menurunkan wahyu kepadanya, 'Sesungguhnya rumah yang paling jauh dari Masjidil Haram adalah rumahku. Janganlah engkau mengambil sebidang tanah dari rumah orang untuk memperluas rumahku. Janganlah sesekali mengambil tanpa permisi (ghashab) rumah seseorang walaupun itu untuk memperluas rumahku,'" kata sang hakim.
Setelah hakim mengutarakan pandangan pengadilan, Abbas langsung menatap Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Dia menyampaikan kata terakhir dalam pengadilan itu kepada Umar.
"Wahai Amirul Mukminin. Kita sama-sama telah mendengarkan apa yang disampaikan hakim pengadilan untuk itu. Sekarang saya mengurungkan niat untuk mempertahankan rumah saya. Saya mengalah demi mengharapkan ridha Allah."