REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap Muslimah yang kuat iman pasti terpanggil hatinya untuk menunaikan haji. Karena ibadah ini di samping merupakan rukun Islam yang kelima, juga mengandung banyak hikmah dan keutamaan. Salah satunya dapat melebur dosa. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang berhaji karena Allah, kemudian ia tidak berkata kotor dan berbuat fasik, maka ketika pulang, ia seperti anak yang baru dilahirkan ibunya.
Tetapi untuk mengecap keutamaan itu, terdapat sebuah syarat tambahan bagi seorang Muslimah yang termasuk dalam istithoa'h-nya (syarat mampunya). Yaitu, harus disertai suami atau mahramnya.
Diriwayatkan lagi oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Abbas berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Jangan sampai seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan tanpa disertai mahramnya. Dan hendaknya seorang perempuan tidak melakukan perjalanan kecuali jika disertai muhrimnya.
Lantas seseorang berdiri dan berkata, ''Wahai Rasulullah, istriku melaksanakan haji sementara aku berada di medan perang ini dan itu.'' Rasulullah kemudian bersabda,Berangkatlah engkau dan berhajilah bersama istrimu.
Nah, berangkat dari hadis itu, para ulama dari empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali) punya pandangan berbeda. Ulama dari Mazhab Maliki berpendapat, Ibadah haji bagi seorang Muslimah harus disertai suaminya, atau salah seorang mahramnya, atau seorang teman wanita yang dapat dipercaya. Kalau semua itu tidak ada, maka tidak wajib baginya melaksanakan ibadah haji.
Lain lagi dengan pendapat ulama dari Mazhab Hanafi. Menurut mereka, jika jarak antara Makkah dan rumahnya ditempuh selama lebih dari tiga hari dengan perjalanan kaki, maka wajib bagi seorang Muslimah disertai suami atau muhrimnya. Ini berlaku bagi Muslimah tua maupun muda. Akan tetapi jika jaraknya kurang dari itu, maka haji tetap wajib ditunaikan meskipun tanpa disertai suami atau mahramnya.
Pendapat ulama dari Mazhab Syafi'i sedikit lebih longgar. Mereka berpandangan bahwa apabila haji yang ditunaikan hukumnya wajib (haji pertama), dan keadaan saat itu aman, maka seorang Muslimah boleh pergi haji sendirian.
Akan tetapi jika tidak diketahui aman atau tidaknya keadaan, maka wajib baginya disertai suami, muhrim, atau dua orang perempuan atau lebih. Seandainya ia tidak mendapatkan seorang laki-laki yang bersedia menjadi mahramnya, kecuali harus diberi upah, sedangkan syarat-syarat wajib haji yang lain telah terpenuhi, maka kalau Muslimah itu mampu membayar upah, wajib hukumnya melakukan haji.
Akan tetapi jika yang ada hanya seorang teman perempuan saja, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Lain halnya jika yang ditunaikan adalah haji sunnah, maka wajib baginya disertai suami atau muhrim. Meskipun ia disertai dua orang wanita atau lebih, tetap saja yang bersangkutan tidak boleh menunaikan haji.
Mengenai ragam pendapat ulama Mazhab Syafi'i ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar menggaris bahawi, Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Mazhab Syafi'i adalah, hajinya seorang wanita disyaratkan adanya suami, mahram, atau wanita-wanita yang terpercaya.
Sedangkan ulama dari Mazhab Hanbali secara tegas mewajibkan adanya suami atau muhrim. Karena, menurut ulama mazhab ini, hal itu merupakan syarat istitho'ah (kemampuan) wanita melaksanakan haji. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, Kalau seorang wanita tidak ada suami atau muhrimnya, maka ibadah haji tidak wajib atasnya.
Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Nabi SAW, Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian selama tiga hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya atau suaminya atau anaknya atau saudaranya atau muhrimnya. (Muttafaq 'Alaihi).
Setelah melihat pendapat ulama dari empat mazhab itu, tampaklah letak perbedaan pandangan mereka tentang masalah ini. Ada yang berpendapat berdasarkan makna lahiriyah dari hadis, yaitu mewajibkan adanya mahram bagi wanita yang berhaji; ada yang memberikan pengecualian bagi wanita yang bersama wanita-wanita lain yang dapat dipercaya; bahkan ada yang berpandangan tidak diwajibkan adanya suami ataupun muhrim jika dalam keadaan aman.
Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, prinsip hukum atau ketetapan adanya mahram haji bukan untuk membatasi kebebasan Muslimah dalam melakukan ibadah. Tetapi, hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik dan kehormatannya. Di samping juga untuk melindunginya dari maksud jahat dari orang-orang yang hatinya berpenyakit.