REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Subarkah / Wartawan Republika
Salah satu persyaratan pokok pelayaran haji yang disampaikan Belanda melalui tawanan itu adalah bahwa Mataram harus membebaskan para tawanan Belanda yang ditahannya. Mengetahui prasyarat itu, Sultan Agung marah besar karena merasa dileceh kan. Ia kemudian memerintahkan kepala tawanan Belanda yang bernama Antonio Paulo, dilemparkan ke mulut buaya.
Namun, catatan perjalanan orang nusantara naik haji mulai semakin lengkap pada kurun waku masa penjajahan Hindia Belanda, atau akhir abad ke-19 Masehi. Ini bisa diketahui karena adanya sikap orang Belanda yang sangat peduli terhadap arsip dan catatan yang ditulis. Budaya menulis dan membaca mereka yang kuat sangat menguntungkan ketika hendak mengetahui situasi zaman saat itu, dalam hal ini adalah soal kepergian orang nusantara ke Makkah.
Pakar kajian Islam asal Belanda, Martin Van Bruinessen, menulis di antara seluruh jamaah haji yang ada di Makkah, selama satu setengah abad terakhir, proporsi orang nusantara yang berhaji di Makkah sa ngat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, misalnya, jumlah mereka berkisar antara 10 ¨C 20 persen dari seluruh jamaah haji. Bah kan, pada ma sa dasawarsa 1920 atau ketika Hindia Belanda berada pada puncak kemakmuran jumlah ja maah haji Indonesia proporsinya mencapai empat persen dari jumlah seluruh jamaah haji dunia. Bahkan, pada zaman itu jumlah orang Jawah (Asia Teng gara) merupakan salah satu kelompok orang asing terbesar di Makkah.
Kita tidak mempunyai statistik mengenai jamaah haji Indonesia pada abad-abad sebelumnya. Sebelum muncul kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahaya dan memakan waktu lama sekali, tulis Martin Van Bruinessen.
Melalui pengamatannya dan ini sejalan dengan amatan Snouck Hurgronje, bahwa memang ada kesan bagi orang Indonesia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain. Dan, ini juga terlihat penghargaan masyarakat Indonesia kepada para haji memang lebih tinggi bila dibandingkan dengan bang sa lain. Ini tampaknya berkaitan dengan budaya tradisonil masyarakat Asia Tenggara di mana banyak yang menganggap orang yang sudah berhaji adalah orang paripurna karena sudah pernah mencari ilmu di pusat kosmis yakni Makkah. Bahkan, kota suci ini juga dipakai sebagai alat legitimasi politik dan ini seperti tecermin dalam kasus pemakaian gelar sultan oleh para raja Mataram untuk menggantikan gelar sunan.
Tak hanya raja Jawa yang mengirimkan orang untuk pergi haji ke Makkah, raja Banten pada 1638 M juga mengirimkan utusan ke Makkah. Kedatangan mereka mendahului utusan raja Mataram yang baru sampai di kota itu pada 1641 M. Uniknya, selain mereka berhaji dan meminta legitimasi kekuasaan oleh penguasa Haramain atau Syarif Makkah (Babad Ta nah Jawa menyebutnya sebagai raja Makkah), ke pulangan mereka juga membawa oleh-oleh yang sa ma dengan jamaah haji masa kini. Hanya bedanya, karena mereka utusan raja mereka mendapat bekal surat yang menyatakan bahwa gelar raja mereka ada lah sultan dan secarik kain kecil potongan kis wah. Nah, kebiasaan membawa potongan kiswah ini juga masih tampak dengan bukti robeknya kain kiswah Ka'bah di bagian bawah pada hari ini. Bahkan, di Makkah acap kali dijumpai adanya pedagang sobekan kain ini.
Ya, masih ada yang mencari. Satu potong saya jual sampai dua ratus real. Katanya untuk jimat atau kenang-kenangan, kata seorang pedagang kain kiswah di Makkah baru-baru ini.
Dalam Hikayat Hasanuddin yang dikarang sekitar tahun 1700 M, sangat jelas adanya pewarisan semangat untuk pergi haji ke Makkah. Hikayat ini berisi ajakan Sunan Gunung Jati kepada anaknya untuk berhaji: Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktunya orang naik haji. Dan, sebagai pula santri kamu tinggal dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerja anakku. Setelah sesudah ia (Sunan Gunung Jati) berkata, maka lalulah ia berjalan dengan anaknya dan dibungkusnya dengan syal. Maka tiada berapa lamanya di jalan lalu ia sampai ke Makkah, maka lalui di Masjidil Haram.
Setelah sampai di Masjidil Haram maka dikeluarkanlah anaknya dari bingkisan, lalu sama-sama ia tawaf ke Baitullah serta diajarinya pada kelakuan tawaf dan doanya sekalian, serta mencium Hajar Aswad, dan ziaah ke segala syaikh, dan diajarkanya rukun haji dan kesempurnaan haji... setelah itu ziarah ke nabiyullah di Madinah ....
Pada sisi lain, kuatnya niat orang nusantara untuk berhaji terekam pada syair yang digubah oleh penyair sufi kontroversial, Hamzah Fansuri. Dalam salah satu syairnya dia juga bicara tentang haji sebagai rukun Islam kelima. Dengan berhaji Hamzah tampaknya ingin menemukan Tuhan:
..... Hamzah Fansuri di dalam Makkah Mencari tuhan di Bait Al-Ka'bah Di Barus ke Qudus terlalu payah Akhirnya dapat di dalam rumah..