REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Subarkah / Wartawan Republika
Tak beda dengan masa kini, di mana sebagian besar orang berhaji adalah orang-orang yang berani mati, mental serta kepasrahan orang yang berhaji jelas sangat tinggi. Zaman dahulu maut sudah mengintai semenjak mereka ke luar rumah. Apalagi pada zaman kolonial, di mana pergi haji kadang dicap pejoratif sebagai usaha untuk mencari kekayaan bersama setan (nyupang atau mencari tuyul).
Nah, kalau sekarang hanya duduk sembilan jam di dalam pesawat superjumbo jet yang nyaman, dahulu pergi haji sebelum dengan kapal api, mereka terkatung-katung selama berbulan-bulam dalam sebuah kapal layar. Mereka biasanya pergi berhaji dengan menumpang kapal dagang sehingga harus sering kali berganti-ganti kapal.
Jalur rute perjalan haji saat itu biasanya dari salah satu pelabuhan di nusantara menuju ke Aceh, sebagai pelabuhan terakhir di Indonesia. Setelah itu mereka menumpang kapal lain yang menuju India. Sesampai di sana mereka harus berganti kapal lagi agar bisa sampai ke Hadramaut atau kalau mungkin bisa langsung ke pelabuhan Jeddah. Kalau saat ini perjalanan hanya memakan waktu satu jam, di masa lalu bisa mencapai setengah tahun hingga sembilan bulan untuk sekali jalan.
Kalau sekarang risiko kecelakaan perjalanan me lalui kapal terbang sangat minimal, dahulu risiko ke celakaan pelayaran sangatlah besar dan malah dianggap sebagai hal biasa. Tak hanya terancam bahaya kapal tenggelam, mereka juga diancam dirampok bajak laut atau dirampok awak kapal mereka sendiri.
Bahkan, risikonya pun masih saja besar ketika sudah sampai di kawasan Arabia. Saat itu adalah hal biasa kalau terjadi perampokan rombongan para peziarah haji yang sedang menuju Makkah yang dilakukan oleh suku-suku Baduy.
Tidak jarang mereka terancam wabah penyakit, baik itu selama berada di dalam pelayaran atau ketika da lam perjalanan darat di tanah Arab. Dari dahulu hingga sekarang kesimpulannya tetap sama, haji ternyata bukan pekerjaan ringan: haji benarbenar ibadah yang membutuhkan kesiapan fisik yang baik!
Penuturan mengenai suasana mencekam ketika berhaji di masa lalu, sempat ditulis oleh penyair Melayu modern, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Dia naik haji pada 1854 atau tidak lama setelah kapal layar digantikan oleh kapal api. Saat itu kapal yang dtumpanginya mendekati Tanjung Gamri di Seylon (Srilangka) diserang angin kencang:
"Allah,Allah, Allah! . Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali, gelombang menghempas kapal dari kiri lepas kanan, kanan lepas kiri. Maka segala barang dan peti-peti dan tikar berpelantingan. Maka hilanglah kapal sebesar itu dihempaskan ge lom bang..Maka masing-masing dalam halnya, tiadalah lain dalam fikiran melainkan mati.. Kata mualimnya: kamu sekalian pintalah doa kepada Allah, karena tiap-tiap tahun di sinilah beberapa kapal hilang, tiada mendapat namanya lagu, tiada hidup bagi seorang, ah, ah, ah....