REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH – Situs keagamaan kosong. Tenda-tenda peziarah haji ditinggalkan. Hotel-hotel tampak tak bernyawa.
Kekosongan yang mencengangkan, serta kekhawatiran kehancuran ekonomi, menghantui kota Makkah yang biasanya ramai. Kota paling suci Islam ini setiap tahunnya bisa menampung jutaan jamaah dari seluruh penjuru dunia untuk ritual ibadah.
Bayang-bayang kekhawatiran muncul setelah Arab Saudi mengumumkan membatasi ibadah haji akibat pandemi Covid-19. Kerajaan telah melarang jamaah haji asing dari kegiatan tahun ini, yang dijadwalkan berjalan akhir Juli.
Ibadah haji dan umroh secara bersama-sama telah menghasilkan sekitar 12 miliar dolar AS dan menjaga ekonomi tetap berjalan di Makkah. Makkah merupakan rumah bagi dua juta orang dan gedung pencakar langit yang dihiasi marmer, di atas situs-situs paling suci Islam.
Dilansir di Daily Mail, ledakan konstruksi dalam beberapa tahun terakhir telah menghasilkan pusat perbelanjaan, apartemen, serta hotel-hotel mewah. Beberapa menawarkan pemandangan spektakuler Ka'bah, yang berada di Masjidil Haram.
Tetapi, sejak pandemi Covid-19 menyentuh Kerajaan Saudi, sebagian besar bangunan kosong. Virus yang juga melanda Makkah, ikut menghancurkan bisnis-bisnis yang bergantung pada ibadah haji.
Ratusan ribu pekerjaan bergantung dari ibadah ini. Mulai dari agen perjalanan, hingga tukang cukur jalanan dan toko-toko suvenir.
Banyak yang melaporkan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran, pemotongan gaji, atau pembayaran gaji yang tertunda.
"Tidak ada penjualan, tidak ada penghasilan. Kita tidak terbiasa melihat Makkah kosong. Rasanya seperti kota mati. Hal ini menghancurkan Makkah," kata Ahmed Attia, seorang warga Mesir berusia 39 tahun yang bekerja di sebuah agen perjalanan di kota itu, dilansir di Daily Mail, Senin (29/6).
Efek kupu-kupu dari pembatalan ini juga telah menghancurkan para operator haji di luar negeri. Mereka adalah pihak yang mengatur logistik dan perjalanan bagi para peziarah internasional.
Tidak sedikit di antaranya menginvestasikan tabungan mereka untuk pelaksanaan ibadah selama lima hari. Pihak berwenang Arab Saudi sejak Maret telah memgeluarkan keputusan untuk menunda ziarah umroh. Ibadah umroh dapat dilakukan setiap saat sepanjang tahun.
Di tengah kondisi yang sangat sensitif, tetapi telah lama ditunggu-tunggu, Kerajaan Saudi juga mengatakan mereka hanya akan mengizinkan sekitar ribuan jamaah yang dapat melaksanakan ibadah rukun Islam kelima ini.
Adapun jamaah yang diperbolehkan adalah mereka yang tinggal di kerajaan. Angka ini hanya sebagian kecil dari 2,5 juta peziarah yang hadir tahun lalu.
"Ini akan menjadi acara simbolis, sebuah foto-op yang memungkinkan kerajaan mengatakan 'kami tidak membatalkan haji seperti yang diharapkan banyak orang'," kata seorang pejabat Asia Selatan yang melakukan komunikasi dengan pihak berwenang haji.
Arab Saudi telah menekankan bahwa pelaksanaan haji 2020 akan terbuka untuk orang-orang dari berbagai negara.
Namun, proses seleksi untuk kuota yang terbatas itu diperkirakan akan diperebutkan dengan panas. Beberapa warga Makkah berharap mendapat prioritas di atas orang dengan warga kenegaraan asing.
"Saya telah pergi haji sebelumnya. Semoga tahun ini, dengan kehendak Tuhan, saya akan menjadi jamaah haji yang diutamakan," kata warga Saudi yang tinggal di Makkah, Marwan Abdulrahman.
Banyak pihak merasa takut melaksanakan ibadah haji. Ibadah ini berisiko mengumpulkan banyak orang dalam satu lokasi, situs keagamaan, dan berujung menjadi sumber penularan masif.
Virus Covid-19 telah melanda Kerajaan Saudi dengan jumlah kasus tertinggi di Teluk. Lebih dari 178 ribu kasus infeksi dikonfirmasi, termasuk 1.511 kematian. Para analis menilai, meningkatkan kembali ziarah akan memperdalam kemerosotan ekonomi kerajaan.
Langkah ini mengikuti penurunan tajam harga minyak, serta kerugian lain yang disebabkan Covid-19. Penurunan ini memicu langkah-langkah penghematan, termasuk tiga kali lipat pajak pertambahan nilai dan pemotongan tunjangan pegawai negeri sipil.
"Keputusan perihal haji memang menambah kesulitan ekonomi Arab Saudi," ujar seorang analis Timur Tengah di Oxford Analytica, Richard Robinson.
Pada hari Rabu (24/6) lalu, Dana Moneter Internasional memperingatkan PDB kerajaan itu akan menyusut 6,8 persen tahun ini. Hal ini menjadi kinerja terburuk sejak kekenyangan minyak tahun 1980-an.
Kelompok konstruksi Saudi Bin Laden, perusahaan yang dikenal dengan mega-proyek besar, telah melewatkan pembayaran gaji untuk ribuan pekerja dalam beberapa bulan terakhir. Informasi ini didapat dari sumber yang dekat dengan perusahaan serta karyawan yang mengeluh di media sosial.
Tagar dalam bahasa Arab, "Delay in Binladen Gaji" mendapatkan daya tarik dari banyak pihak. Perlambatan pembayaran berdampak pada perusahaan di belakang serangkaian proyek penting.
Termasuk pengerjaan kompleks hotel gedung pencakar langit senilai 15 miliar dolar AS yang menjulang di atas Masjid Agung Makkah.
Perusahaan tersebut sedang berusaha menyewa sejumlah jet pribadi untuk mengirim banyak pekerja Asia Selatan yang diberhentikan dari pekerjaannya, menurut sumber yang sama. Namun hingga berita ini diturunkan, perusahaan tidak menanggapi permintaan komentar.
Penurunan ini juga mengganggu rencana ambisius Riyadh untuk membangun industri pariwisata dari awal. Hal ini menjadi landasan program reformasi Visi 2030 untuk mengurangi ketergantungan kerajaan pada minyak.
"Pemerintah telah memilih pariwisata sebagai bidang utama untuk pertumbuhan di bawah strategi diversifikasi. Hilangnya pendapatan haji dapat mengatur sektor ini kembali melalui investasi yang hilang atau kebangkrutan," kata Robinson.
Kerajaan Saudi mulai menawarkan visa turis untuk pertama kalinya September lalu dalam upaya membuka salah satu batas terakhir pariwisata global.
"Sementara Saudi mencari cara untuk mendiversifikasi pendapatan pariwisata di luar pariwisata religius, upaya ini masih dibangun dari pendapatan haji. Dengan terbatasnya haji saat ini di tengah gangguan pasar minyak, membuatnya menjadi pukulan telak," kata Kristin Diwan dari Arab Gulf States Institute di Washington.