REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Otoritas Saudi telah mengambil keputusan tentang pelaksanaan Haji, ziarah tahunan Muslim ke Makkah. Kerajaan hanya mengizinkan sejumlah peziarah lokal melaksanakan rukun Islam kelima ini dengan tujuan menghambat penyebaran Covid-19.
Arab Saudi perlu waktu berminggu-minggu untuk memilih antara menangguhkan haji sama sekali atau melanjutkan dengan membatasi jumlah jamaah. Sekarang, Saudi telah memilih untuk tidak menunda pelaksanaan ibadah haji.
Sebelumnya, pada bulan Juni beredar isu Arab Saudi sedang mempertimbangkan tiga opsi. Menangguhkan haji secara keseluruhan, membatasi hanya untuk orang-orang Arab Saudi sendiri, atau tetap melaksanakan dengan kuota normal namun dengan aturan dan peraturan yang ketat.
Dilansir di Ahram Online, membiarkan jamaah dari luar negeri akan berisiko membawa lonjakan baru infeksi Covid-19. Sementara, menangguhkan haji sama sekali akan menyebabkan kritik dari ratusan juta Muslim di seluruh dunia. Kompromi pembatasan kuota jamaah dari berbagai negara yang sudah tinggal di Arab Saudi tampaknya menjadi pilihan terbaik.
Ibadah haji telah lama menjadi tantangan kesehatan masyarakat bagi pemerintah Saudi. Setiap pelaksanaannya, lebih dari dua juta orang dari negara-negara di semua benua di dunia berkumpul di ruang yang terbatas selama beberapa hari.
Tahun ini, masalah kesehatan bisa menjadi tantangan yang lebih besar. Makkah selama beberapa bulan terakhir fokus dalam melawan pandemi Covid-19.
Kota suci ini telah dikunci sejak Maret, sebelum Kerajaan Saudi memutuskan melakukan pelonggaran pembatasan beberapa hari lalu.
Jutaan Muslim tidak bisa pergi ke Mekah untuk menjalankan ibadah umroh di bulan suci Ramadhan. Biasanya ibadah haji kecil ini membawa hampir 20 juta Muslim setiap tahun.
Investasi besar telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, dengan biaya miliaran dolar. Saudi ingin memperluas tempat dan meningkatkan layanan bagi para peziarah sehingga target jutaan lebih dapat dilayani oleh Arab Saudi setiap tahun.
Arab Saudi bertanggung jawab atas umroh yang terjadi sepanjang tahun dan ibadah haji setahun sekali, dengan jutaan orang mengunjungi kerajaan dari seluruh dunia. "Wisata religius" ini juga merupakan sumber pendapatan vital.
Hampir 12 miliar dolar setahun didapat Saudi dari ibadah tersebut. Angka ini menyumbang dua persen dari PDB Saudi. Pendapatan ini memberi kekuatan agama ke Arab Saudi sebagai penjaga dua situs suci Muslim Mekah dan Madinah.
Haji yang dilaksanakan terbatas tahun ini, dengan hanya sekitar seribu jamaah haji dari dalam Arab Saudi, membuat negara merasakan kehilangan besar atas pendapatan nasional yang diperkirakan mencapai sekitar 10 miliar dolar AS.
Sebagai negara penghasil dan pengekspor minyak, di hari-hari biasa, angka ini mungkin bukan uang yang besar. Tetapi, saat ini ekonomi Saudi berada di bawah tekanan karena pandemi Covid-19.
Biaya keuangan dari membatasi ibadah haji akan terasa signifikan dan menambah defisit anggaran Saudi. Biaya haji terbatas juga akan berdampak buruk pada bisnis di Makkah dan Madinah, yang berusaha berjuang di luar musim haji.
Biasanya, dua kota suci ini tampak ramai. Namun, sekarang kota-kota suci ini tenang. "Kita tidak terbiasa melihat Makkah kosong. Rasanya seperti kota mati. Ini menghancurkan Makkah," ujar salah satu pekerja asing yang bekerja di sana, dilansir di Ahram Online, Rabu (1/7).
Dia adalah salah satu dari ribuan pekerja asing di Makkah yang biasanya menunggu musim haji untuk meningkatkan pendapatan mereka. Hasilnya, mereka dapat mengirimkan beberapa dolar kembali ke negara asal.
Selain pekerja bisnis dari hotel dan restoran, hingga transportasi dan tukang cukur, kontrak lepas membawa ribuan pekerja musiman ke Makkah selama beberapa bulan untuk melayani para jamaah.
Namun, tidak satu pun dari kontrak lepas ini yang tersedia tahun ini. Akibatnya, para pencari nafkah ini untuk sementara tidak memiliki penghasilan.
Kerugian dari pembatasan haji dan pandemi Covid-19 tidak hanya terbatas di Arab Saudi saja. Pandemi juga telah memengaruhi negara-negara yang biasanya mengirimkan ratusan ribu peziarah ke Arab Saudi.
Selain staf reguler, dewan kesejahteraan peziarah di negara-negara ini biasanya melibatkan ratusan personel berdasarkan kontrak untuk memfasilitasi kelancaran perjalanan haji. Agen perjalanan, maskapai penerbangan, bandara, dan layanan lain di telah hancur oleh pembatalan bisnis mereka.
Bukan hanya biaya ekonomi dan keuangan dari pembatasan haji yang penting, karena haji adalah rukun Islam kelima. Ibadah ini merupakan perjalanan sekali seumur hidup yang dilakukan jutaan Muslim di seluruh dunia.
Pemilihan pendaftar haji dari berbagai negara terjadi setiap tahun, untuk memenuhi kuota yang ditetapkan. Banyak di antara pelamar adalah orang tua yang mungkin mengalami kesulitan bepergian jika kesempatan mereka untuk menghadiri haji ditunda.
Beberapa mungkin telah membayar ribuan dolar kepada agen-agen lokal yang mengatur haji dan mungkin tidak yakin apakah biaya ini dapat dikembalikan.
Laporan surat kabar tentang pembatasan ibadah haji tahun ini dari Indonesia hingga Nigeria sudah penuh dengan cerita. Kebanyakan tentang pria dan wanita tua yang berduka karena kehilangan kesempatan melakukan ritual tahun ini.
Kerugian rohani terasa lebih buruk bagi mereka daripada kerugian finansial. Beberapa orang merasa takut pembatasan baru yang diberlakukan karena pandemi Covid-19 dapat membuat mereka kehilangan kesempatan lain untuk melakukan perjalanan suci.
Anjuran menjaga jarak sosial dan tindakan pencegahan lain, yang dimaksudkan untuk membatasi penyebaran virus, mengarah pada lebih sedikit jumlah peziarah dan lebih banyak biaya keuangan yang dikeluarkan untuk tahun depan.
Namun, di balik semua risiko yang ada, umat Islam di seluruh dunia masih dapat menyaksikan takbir, ekspresi keyakinan Muslim, dari Ka'bah di Makkah pada pagi hari Idul Adha tahun ini. Bahkan jika hanya ada sejumlah kecil peziarah yang secara simbolis melakukan ritual haji.
Sumber: