REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal Bin Farhan Bin Abdullah menegaskan posisi Kerajaan yang akan selalu mendampingi korban pembantaian Muslim Bosnia di Srebrenica. Dalam pernyataannya, Sabtu (11/7), Pangeran Faisal mengatakan Kerajaan Arab Saudi beserta seluruh parlemennya akan terus menjunjung nilai kemanusiaan dan moral.
"Partisipasi kami atas nama Kerajaan Arab Saudi, para pemimpinnya, pemerintah, dan orang-orangnya, adalah kewajiban kemanusiaan dan moral yang ditanggung oleh kepemimpinan Arab Saudi setiap tahun,” ujarnya dalam pernyataan yang dikutip di Saudi Gazette, Ahad (12/7).
Dia menyatakan Penjaga Dua Masjid Suci, Raja Salman dan Putra Mahkota, telah dan akan terus mendukung Bosnia dan Herzegovina. Dia juga menegaskan, konsistensi Kerajaan untuk menjaga keamanan global, stabilitas, dan persatuan. Arab Saudi juga terus berupaya mempromosikan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan keterbukaan.
Sebelumnya, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengingat 11 Juli sebagai (Hari Berkabung) untuk menghormati ingatan orang-orang yang terbunuh dalam pembantaian Srebrenica. “Peringatan ini untuk kita merupakan pengingat yang menyakitkan. Hati dan pikiran kami bersama para korban peristiwa tragis ini,” kata Sekretaris Jenderal OKI Yousef Al-Othaimeen.
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, Sekretaris Jenderal PBB Guterres dan perdana menteri Inggris, Belanda dan Spanyol, juga beberapa tokoh senior berpartisipasi menolak segala kejahatan yang menodai nilai kemanusiaan. Dalam pidatonya, Guterres mengatakan rekonsiliasi berarti menolak penolakan atas genosida dan kejahatan perang dan segala upaya memuliakan penjahat perang yang dihukum.
"Saya menyerukan kepada teman-teman kita dari seluruh dunia untuk menunjukkan, tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan, bahwa mereka tidak akan menerima penolakan genosida dan perayaan para pelakunya," kata Ketua Dewan Menteri Bosnia dan Herzegovina Sefik Dzaferovic.
"Genosida Srebrenica ditolak [oleh para pemimpin Serbia] sama sistematis dan cermatnya seperti yang dieksekusi pada 1995. Kami berutang bukan hanya pada Srebrenica, tetapi juga pada kemanusiaan, untuk menentang itu," ujarnya.
Bosnia masih terpecah secara etnis seperempat abad setelah eksekusi brutal pada Juli 1995 terhadap lebih dari 8.000 pria dan anak lelaki Muslim Bosnia oleh pasukan Serbia Bosnia. Disisi lain, banyak orang-orang Serbia Bosnia yang masih merayakan peristiwa tersebut dan menyebut para pemimpin masa perang mereka, Radovan Karadzic dan Ratko Mladic, sebagai pahlawan.
Meski Serbia telah meminta maaf atas pembantaian itu, tetapi belum menerima interpretasi internasional yang meluas bahwa itu adalah genosida. Ingatan buruk tentang kekejaman pasukan Serbia juga masih menjadi trauma walaupun 25 tahun telah berlalu.