Rabu 15 Jul 2020 22:31 WIB

Berkunjung ke Hagia Sophia Serasa Kembali ke Turki Utsmani

Tanpa tour guide kesan magis dan keagungan Hagia Shopia nyaris nampak tak terlihat.

Hafitz Setiawan, Awardee Fully Funded Summer School Program by Yunus Emre Enstitüsü, Turkey
Foto: istimewa
Hafitz Setiawan, Awardee Fully Funded Summer School Program by Yunus Emre Enstitüsü, Turkey

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Hafitz Setiawan

(Awardee Fully Funded Summer School Program by Yunus Emre Enstitüsü, Turkey)

Apa yang bisa dibayangkan ketika saat ini kita menyebut nama negara Turki? Mungkin sebahagian dari kita akan memikirkan satu hal yang sama yaitu Erdogan. Ya, pemimpin kharismatik ini sangatlah populer bagi banyak masyarakat di Indonesia.

Saking populernya, ingatan tentang Kesultanan Utsmaniyah atau Turki Utsmani sedikit memudar. Tidak hanya itu, bahkan kita dapat dengan mudah menemui komunitas pendukung Presiden Turki yang memiliki nama lengkap Recep Tayyip Erdogan tersebut. Setidaknya itu yang terjadi akhir-akhir ini ketika berbicara mengenai Turki.

 

Pembicaraan itu memiliki keterkaitan lebih ketika, Erdogan mengumumkan perubahan status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid kembali pada 10 Juli 2020 lalu. Pengumuman ini dilandasi putusan Mahkamah Agung Turki yang mencabut status quo akan fungsi bangunan tersebut sebagai museum yang telah ada selama 86 tahun atau sejak Republik Turki berdiri.

Hagia Sophia atau Ayasofya sendiri awalnya merupakan sebuah Gereja Kristen Ortodoks Yunani yang dibangun oleh Kekaisaran Bizantuim di abad ke-6 Masehi. Gereja ini sekaligus ikon dari kota Konstatinopel dengan kubah besar sebagai ciri khasnya. Fungsi bangunan sebagai gereja baru berubah menjadi masjid untuk pertama kali ketika sultan ketujuh dari Turki Utsmani yaitu Mehmed II, atau yang lebih dikenal dengan Mehmed sang Penakluk, menundukan Konstatinopel dari Kekaisaran Bizantium di tahun 1453. Yang kemudian juga mengubah nama kota tersebut menjadi Istanbul.

Bak roda yang terus berputar, pada tahun 1934 ketika Mustafa Kemal Ataturk mendirikan negara Republik Turki ia, yang seorang nasionalis dan sekuler, mengubah kembali fungsi Hagia Sophia untuk dijadikan museum. Hagia Sophia tak lagi menjadi milik agama manapun, baik Kristen maupun Islam.

Layaknya bangunan museum di banyak negara, Hagia Sophia merupakan sebuah objek yang hanya dilihat-lihat dan dijepret melalui tangkapan kamera. Terkhusus bagi wisatawan yang akan kembali ke negara asalnya, jepretan itu akan menjadi momen indah yang dapat diceritakan. 

Jika kita datang tanpa informasi mengenai sejarah dari Hagia Sophia atau tidak ditemani oleh tour guide maka magis dan keagungannya nyaris nampak tak terlihat. Disebabkan, jejak kisah yang menghampiri bangunan tersebut sesungguhnya sudah banyak yang pudar termakan usia. Sebut saja mozaik Yesus yang menempel di dinding lantai dua bangunan tersebut. Sementara itu, refleksi kombinasi Kristen dan Islam dapat kita lihat dari kaligrafi berbahasa Arab yang berada di sisi dalam atas kubah, serta ornamen Asma Allah dan Nabi Muhammad yang ‘ditengahi’ gambar Bunda Maria yang sedang memangku Yesus di sisi depan yang juga terlihat pernah dipakai sebagai mimbar imam.

Dilihat secara ukuran, Hagia Sophia nampak sangatlah besar. Berada di area yang diapit oleh Masjid Biru atau Masjid Sultan Ahmet dan Istana Topkapi, keberadaan Hagia Sophia menjadi lebih spesial karena sejarahnya. Terlepas dari apa yang menjadi niatan Erdogan dalam pengubahan status dari bangunan ikonik Istanbul tersebut menjadi masjid kembali. Yang pasti, siapapun masih dapat berkunjung dan memahami sejarah peradaban Kristen dan Islam dari Hagia Sophia. Mungkin, dapat dibayangkan jika nantinya Hagia Sophia akan sama seperti Masjid Biru. Berfungsi sebagai tempat ibadah umat Islam dan juga sebagai tempat berkunjung bagi para wisatawan.

Kekecewaan umat Kristiani dapat dipahami sebagai bentuk ingatan kelam akan pengalaman sejarah berupa penaklukan. Bagaimanapun Kekaisaran Bizantium adalah refleksi dari kekuatan dan kekuasaan Kristen pada waktu itu.

Begitu juga kegembiraan umat Islam akan penetapan kembali Hagia Sophia sebagai masjid dapat dimengerti dengan logika sebaliknya atas apa yang dilakukan oleh Turki Utsmani. Namun, satu hal yang pasti. Republik Turki adalah negara sekuler yang berdaulat penuh akan teritori dan apa yang ada di bawah naungannya. Rasanya, kita perlu meredam sentimen agama dan melihat ini sebagai sebuah hak dari negara-bangsa yang berdaulat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement