REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Topik yang selalu hangat dalam dunia kedokteran masa kini, di antaranya penggunaan enzim babi sebagai unsur pendukung obat tertentu. Entah sebagai katalisator, pelapis luar, atau apa pun penggunaannya. Isu ini pun kerap menjadi perbincangan di kalangan para ahli fikih. Seperti apa dinamikanya?
Unsur babi digunakan dunia medis dalam kategori yang beragam. Sesuai dengan peruntukkannya. Pertama, sebagai bahan gelatin untuk lapisan kapsul dan tablet. Kedua, pemanfaatan lemak babi untuk obat oles atau krim. Ketiga, pemakaian pankreas babi untuk insulin, seperti vaksinasi ataupun obat cair.
Untuk kategori yang ketiga, yakni insulin yang berasal dari babi, para ulama sepakat hukumnya haram. Tetapi, penggunaannya diperbolehkan dalam kondisi darurat bila tak lagi ditemukan obat alternatif yang halal.
Ini pun dibatasi dengan beberapa syarat, antara lain, sakit yang diderita pasien sangat akut dan dikhawatirkan meninggal, nihilnya obat alternatif, dan atas rekomendasi dokter yang berkompeten. Argumentasinya merujuk pada dalil-dalil tentang bolehnya berobat menggunakan perkara haram dalam kondisi darurat.
Kesimpulan ini seperti yang pernah ditegaskan oleh Kongres Fikih Kedokteran ke-8 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Dalam pertemuan rutinnya itu, lembaga ini menyatakan insulin babi boleh digunakan untuk obat bagi penyakit gula atas dasar darurat dengan tetap memperhatikan ketentuan syar’inya. Tetapi, seiring dengan perkembangan kedokteran, insulin jenis ini harus ditinggalkan sebab insulin halal sudah ditemukan.
Sedangkan, hukum kapsul atau tablet yang terbuat dari gelatin babi, para ulama masa kini berbeda pendapat. Kelompok yang pertama berpandangan, obat tersebut haram digunakan, kecuali ketika kondisi darurat, dengan ketentuan sebagaimana tersebut di atas. Pandangan ini disampaikan oleh Syekh Abd al-Fatah Idris, Muhammad az-Zuhaili, dan Ahmad al-Hajji al-Kurdi.
Kapsul yang terbuat dari gelatin babi itu dianggap najis yang tidak boleh dikonsumsi ketika ada alternatif yang halal. Terlebih, saat ini dunia kedokteran berhasil menemukan obat alternatif yang tidak memakai gelatin babi.
Sterilisasi gelatin tersebut dianggap tidak berefek apa pun sehingga najis tidak berubah menjadi suci. Tetap saja, najis dan haramnya babi tersebut tidak berubah statusnya. Meski demikian, dalam kondisi darurat obat jenis ini boleh dikonsumsi dengan catatan seperti di atas.
Sedangkan gelatin babi ini, menurut kubu yang kedua, hukumnya boleh selama sterilisasi dan penyuciannya sempurna, 100 persen. Gelatin babi dalam kapsul atau tablet yang telah disucikan sempurna itu dinyatakan suci dan halal dimanfaatkan secara mutlak, tanpa ada batasan darurat atau tidak.
Sebaliknya, jika proses sterilisasi tersebut masih parsial, hukumnya tetap dinyatakan najis. Penggunaannya hanya boleh ketika kondisi darurat. Sejumlah nama cendekiawan Muslim menyuarakan opsi ini, di antaranya Syekh Mahmud Syaltut, Abd al-Karim Zaidan, Abd al-Mujid Shalahih, dan Muhammad al-Asyqar. Ini juga menjadi ketetapan Kongres Fikih Kedokteran ke-8 OKI.
Perbedaan serupa juga berlaku untuk pemakaian lemak babi sebagai obat oles atau krim. Para ulama berselisih pandang. Menurut kelompok yang pertama, kategori obat jenis ini haram digunakan bila tidak dalam kondisi darurat. Pandangan ini disampaikan, antara lain, Syekh Muhammad az-Zuhaili, Abd al-Fatah Idris, Ahmad al-Hajji al-Kurdi, dan Syekh Wahbah az-Zuhaili.
Bagi pihak kedua, jenis obat ini boleh digunakan bila lemak tersebut telah disterilkan atau disucikan. Penegasan ini diutarakan, antara lain, oleh Syekh Abd al-Majid Shalahin dan Syekh Ibrahim Bayudh, juga dikuatkan dalam Kongres Fikih Kedokteran ke-8 OKI.
Sementara itu, Majelis Kajian dan Fatwa Eropa menyikapi hukum unsur babi dalam obat itu secara general, tanpa membedakan obat oral atau oles. Lembaga ini menyatakan penggunaan enzim babi dalam obat atas dasar darurat lantaran belum ada obat pengganti yang halal, hukumnya boleh. Bila obat dengan kategori seperti itu dilarang, bisa berefek buruk bagi pasien.
Apalagi, cara pandang fikih atas najis sangat fleksibel. Najis-najis tersebut bisa divonis larut dan bersih bila telah disucikan melalui proses berulang-ulang. Di sisi lain, fenomena ini masuk kategori darurat. Di pengujung fatwa, lembaga ini merekomendasikan kepada para pakar dan instansi terkait supaya tidak mempersulit ketentuan menyoal masalah-masalah ijtihad.
Dalam referensi fikih klasik, pembahasan tersebut, antara lain, seperti yang pernah diterangkan oleh Syekh Ibnu Taimiyah. Tokoh yang hidup pada abad ke-8 Hijriyah itu menguraikan persoalan samak kulitdibagh, apakah proses tersebut bisa menyucikan kulit hewan najis atau yang haram dimakan, seperti bangkai atau babi?
Sosok berjuluk Syekh al-Islam itu mengutarakan, setidaknya ada tiga kutub pandangan, yaitu sterilisasi kulit tersebut menyucikan kulit apa pun, termasuk babi. Ini opsi yang berlaku di Mazhab Abu Dawud azh-Zhahiri dan Abu Yusuf. Kedua, sterilisasi menyucikan segala sesuatu selain babi. Ini merupakan pandangan Abu Hanifah. Bagi Imam Syafi’i, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad, sterilisasi itu menyucikan di luar anjing dan babi.
Mantan komisi Fatwa Al-Azhar Mesir, almarhum Syekh Athiyah Shaqar, mengemukakan memang sejumlah dalil menyatakan bahwa babi haram dimakan, seperti penegasan ayat ke-5 surah al-Maidah. Tetapi, bukan berarti babi tersebut najis wujudnya. Logikanya, seperti najisnya orang-orang Musyrik sebagaimana disebutkan ayat ke-28 surah at-Taubah. Maksud kenajisan tersebut, najis keyakinan bukan najis wujud badan. Persis seperti tindakan perjudian dalam surah al-Maidah ayat 90. Judi tersebut divonis najis dari segi hukum. Bukan wujud barang yang diperjudikan.
Atas dasar ini, kata Syekh Athiyah, dengan menukilkan peryataan Imam an-Nawawi, dalam Mazhab Syafi’i tidak terdapat dalil tentang najisnya babi, bahkan arah Mazhab berpandangan suci sama halnya dengan singa, serigala, atau tikus.
Menurut pakar fikih generasi salaf, Ibn al-Mundzir, pernah muncul konsensus atas najisnya babi, tetapi ijmak itu digugat lantaran Imam Malik tidak sepakat. Pencetus Mazhab Maliki itu memandang sekalipun babi haram dimakan tetapi tidak najis. Meski begitu, Syekh Athiyah menegaskan, mayoritas ulama sepakat babi najis.
Penegasan serupa dikemukakan Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Menurut Sekjen Uni Ulama Muslim se-Dunia ini, sterilisasi kulit hewan itu menyucikan kulit apa pun, termasuk hewan yang haram dimakan dagingnya, seperti babi. Ini merujuk pada generalisasi dalil sebagaimana riwayat Ahmad, Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah dari Ibnu Abbas. Kulit apa pun yang telah melalui proses sterilisasi dinyatakan suci.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 27 Desember 2013