Rabu 19 Aug 2020 20:35 WIB

Hidup Halal di Tahun Baru Hijriyah, Way of Life Muslim

Hidup halal itu baik bagi kehidupan manusia.

Hidup Halal di Tahun Baru Hijriyah, Way of Life Muslim (ilustrasi).
Foto: republika.co.id/antara
Hidup Halal di Tahun Baru Hijriyah, Way of Life Muslim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Memasuki Tahun Baru Hijriyah, sudah saatnya umat Islam menata kembali hidupnya dengan berhijrah menuju kehidupan yang serbahalal. Tak hanya sekadar makan dan minum produk-produk halal, tetapi juga mencari sumber rezeki yang dihalalkan agama.

Hijrah adalah momentum untuk menjauhkan diri dari perbuatan korupsi, manipulasi, menipu, dan mencuri. Sesungguhnya, segala sesuatu yang halal akan menciptakan keamanan dan kententeraman dalam kehidupan.

Sedangkan keharaman, baik makanan maupun rezeki dengan cara memperolehnya, akan menimbulkan masalah, kekacauan, dan keresahan dalam hidup. Tengoklah, kehidupan para koruptor—meski bergelimang harta—tetapi hidupnya jauh dari rasa nyaman dan tenteram.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan mengungkapkan, hidup halal diwajibkan atas umat Muslim dan baik pula dilakukan oleh umat non-Muslim. Menurutnya, hidup halal berlaku secara universal.

Dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan manusia untuk makan makanan halal dan jangan mengikuti jejak setan. Perintah tersebut wajib bagi umat Muslim. "Dengan begitu, jika umat Muslim makan makanan yang tidak halal, dia berdosa. Begitu pula jika hidupnya tidak halal,” ungkap Kiai Amidhan.

Hidup halal, tutur Amidhan, harus dijadikan way of life setiap Muslim. Dengan begitu, setiap sendi kehidupan selalu dilaksanakan menurut aturan kehalalan. Menurutnya, hidup halal dapat dilakukan dengan cara mengonsumsi serta menggunakan produk yang halal.

Selain itu, kata dia, dalam mencari rezeki pun harus dilakukan dengan cara-cara yang halal pula. Dalam berdagang tidak menipu dan tidak curang, dalam berpolitik tidak memakai cara-cara yang licik dan curang, begitu pula dalam bekerja harus amanah dan tidak korupsi. "Dengan demikian, kehidupan manusia akan menjadi lebih tenteram dan nyaman. Karena hidup halal itu baik bagi kehidupan manusia,” papar Kiai Amidhan.

Menurut dia, Rasulullah SAW banyak memberikan contoh tentang hidup halal. Dalam berdagang untuk mencari rezeki, kata Kiai Amidhan, Rasulullah SAW menganut prinsip bagi hasil; untung atau rugi ditanggung bersama.

Perdagangan beliau juga dilakukan secara terbuka, tidak sembunyi-sembunyi. Selain itu, beliau juga memiliki moral atau etika bisnis. "Bisnis yang dilaksanakan beliau memberikan manfaat bagi orang lain, tidak membahayakan orang lain, tidak ada unsur penipuan, dan barangnya jelas,” papar Kiai Amidhan.

Semua bisnis yang dijalankan berada dalam sektor riil dan terhindar dari unsur perjudian yang bisa merugikan orang lain. Menurutnya, kehidupan ekonomi yang menggunakan prinsip-prinsip yang halal insya Allah bisa berjalan lancar.

Dalam menjalani hidup halal, lanjut Amidhan, seharusnya masyarakat mengikuti sifat-sifat Rasul, antara lain sidik, amanah, tabligh, dan fatonah. "Jika sifat-sifat Rasul tersebut diterapkan dalam kehidupan, niscaya kita bisa hidup halal,” katanya.

Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia ( LPPOM MUI), Lukmanul Hakim, mengatakan tantangan untuk hidup halal itu semakin besar pada era modern ini.

Saat ini, pasar kita banyak dibanjiri oleh produk makanan dan minuman impor yang tidak jelas kehalalannya. Sehingga, konsumen yang ingin menggunakan produk halal sering merasa bingung. "Oleh karena itu, pemberian label halal itu wajib supaya konsumen mudah memilih produk-produk yang halal,” ungkap Lukmanul.

Makanan halal, ujar Lukmanul, juga sama dengan makanan sehat sehingga baik untuk perkembangan fisik dan jiwa. "Jika seseorang mengonsumsi makanan haram, misal daging yang tidak disembelih secara Islami dan mengandung banyak darah, hal itu akan berpengaruh bagi kesehatan tubuh.’’

Menurut dia, darah merupakan medium berkembangnya mikroba maupun bakteri. Jika dikonsumsi, daging tersebut bisa menimbulkan gangguan pencernaan hati maupun ginjal. Begitu pula, papar Lukmanul, bila mengonsumsi barang-barang haram, seperti minuman beralkohol serta narkotika.

Barang haram itu, paparnya, akan membuat penggunanya sakit secara fisik maupun jiwa. "Oleh karena itu, Islam melarang pemeluknya mengonsumsi barang-barang haram,” ujarnya menegaskan.

Menurut dia, orang-orang yang suka mengonsumsi makanan serta minuman haram memilki kecenderungan untuk mudah berbuat maksiat.

Untuk mendapatkan produk halal, kata Lukmanul, tidak sulit. Yang penting, lanjut dia, konsumen melihat produk tersebut ada label halalnya atau tidak. Label halal tersebut bisa berasal dari MUI maupun lembaga lain yang diakui oleh MUI.

Kesadaran umat Muslim di dunia untuk mengonsumsi dan menggunakan produk halal terus meningkat. Produk-produk halal telah menjadi primadona dunia. Sekitar 1,6 miliar umat Muslim yang tersebar di berbagai benua menginginkan agar segala produk yang digunakan benar-benar terjamin kehalalannya.

Berdasarkan data Journal Halal, sebuah majalah yang berbasis di Kuala Lumpur, dalam sepuluh tahun terakhir, pasar makanan halal dunia sudah bernilai sekitar 632 miliar dolar AS per tahunnya. Menurut perhitungan majalah Time, nilai pasar makanan halal dunia itu setara dengan 16 persen dari total industri makanan di seluruh dunia.

Tak hanya makanan, industri lainnya seperti keuangan, berbagai produk dan jasa meliputi kosmetik, real estate, hotel, fesyen, dan asuransi sudah beramai-ramai hijrah menjadi sesuatu yang terjamin kehalalannya. Semua industri berlomba untuk menyesuaikan diri dengan hukum Islam dan ajaran Alquran. 

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 03 Desember 2010

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement