REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: A Hasyim Muzadi
Dalam beberapa tulisan reflektif terakhir, kita mulai memaklumi bahwa hidup memerlukan keberkahan. Tanpa berkah, hidup berjalan di luar rel ketetapan Allah dan jauh dari maslahah 'ammah bagi kemanusiaan. Beberapa di antara penyebab hilangnya keberkahan itu sudah maklum adanya. Seperti lenyapnya lubbusy sya'i pada setiap peristiwa dan penciptaan makhluk Allah dan berkembangnya ilmu yang tidak tumbuh dari rasa takut/khasy-yatulLaah.
Penyebab lainnya dari hilangnya keberkahan hidup adalah matinya hati nurani karena terputusnya hablun minal Laahi dan semakin menipisnya ibadah, lalu diabaikankannya sikap konsisten alias istiqamah oleh para pemimpin pada setiap tingkatan di tengah-tengah masyarakat serta dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, demokrasi yang seharusnya dijadikan sebagai alat menggapai kebaikan umat, justru dijadikan mesin industri untuk menghasilkan hedonisme dalam kehidupan.
Terkait masalah hedonisme inilah sebenarnya hidup dan kehidupan telah mengalami pergeseran makna dalam amaliah sehari-hari. Begitu tidak konsistennya kita memegang tuntunan agama, demikian tipisnya ubudiah kita kepada Allah, kian jauhnya kita dari sikap istiqamah, maka semakin tidak mampu pula kita memisahkan hal-hal yang nyata halal dan barang-barang yang jelas haram. Padahal, agama ditegakkan, antara lain, dengan istiqamahnya umat memilah antara yang halal dengan yang haram.
Hal ini terjadi, sangat mungkin, karena ilmu tidak tumbuh di atas rasa takut kepada Allah sehingga kita tampak kian lihai memperpendek jarak antara yang halal dengan haram. Akibatnya, kita sering terjerumus ke dalam derajat kesyubhatan. Karena sudah biasa, maka hidup di dunia syubhat telah menjadi tren yang diikuti secara masif. Padahal, demikian Rasulullah SAW bersabda, "Fa man waqa'a fisy syubhah fa qad waqa'a fil haraam-Barang siapa yang jatuh dalam kesyubhatan, maka ia telah terjebak dalam keharaman." (al-Hadis).
Sadarkah kita betapa ikhtiar menjaga diri agar tidak terjatuh ke dalam mutasyaabihaat-alias dunia abu-abu : tipisnya jarak halal-haram-dinilai sebagai pejuang yang menegakkan agama? Begitu pentingkah ini semua? Tentu sangat penting sehingga untuk hal-hal tertentu, Allah "turun tangan" menetapkan haramnya suatu perkara. Bertindak zalim terhadap sesama, misalnya, termasuk tindakan yang Allah sendiri menentukan sifat keharaman-Nya. "Inni harramtudz dzulma 'alaa nasfii falaa tadzaalamuu-Sungguh telah Kuharamkan bertindak zalim atas diri-Ku. Maka, jangan kalian saling menzalimi." (Hadis Qudsi).
Tetapi, karena begitu biasanya hidup di dunia abu-abu sehingga kita terbiasa pula terjebak ke dalam kehidupan yang jauh dan wara' dan zuhud. Bahkan, untuk memenuhi ambisinya, seseorang kerap menghalalkan segala cara. Menghalalkan yang jelas-jelas diharamkan oleh agama dan mengharamkan yang nyata-nyata halal dan diperintahkan agama. Dan, bagi mereka yang mulai putus atas karena deraan life style yang kian hedonis, baginya hidup tidak memberikan pilihan apa pun sehingga dengan melecehkan agama, ia mengatakan; jangankan yang halal, yang haram pun kini sulit didapat. Na'udzzubilLaah!
Padahal Nabi yang mulia bersabda, "Al-halaalu bayyin wal haraamu bayyin. Wa bayna humaa umuurun mutasyaabihaat. Laa ya'lamuhaa katsiirun minan-naas. Famanit taqasy syubuhaat fa qadis tabra-a li 'irdhihii wa diinihii-Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat hal-hal yang meragukan (mutasyabihat) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barang siapa menjaga diri dari syubhat, maka telah menjaga kehormatan dan agamanya." (al-Hadis). Jadi, selain dengan shalat, menjaga diri tetap di posisi halal dan menghindarkan diri dari yang haram, dinilai telah menjaga agama.
Kini, perlu disadari bahwa memang dibutuhkan pengetahuan memadai untuk mengetahui hukum sesuatu. Kalau tidak memiliki ilmu pengetahun tentang halal-haram, menjadi kewajiban semua muslim/muslimah untuk mencari tahu dari majelis-majelis ilmu para guru/ulama. Sebab, jika hidup terus bergelimang hal-hal yang syubhat, maka sesuai standar hadis di atas, itu dapat diartikan kita telah terjatuh ke dalam keharaman yang terus menerus. Bukankah amalan terburuk adalah yang salah dan terus istiqamah dalam kesalahan itu?
Setelah menyimak hadis ini pula, kini kita jadi mafhum untuk berkewajiban terus meningkatkan pengetahuan kita tentang agama kita, hatta untuk urusan halal-haram yang belakangan ditempatkan di sudut-sudut terpencil dalam kehidupan kita sehingga wujudnya kian samar. Terlebih, menjauhi syubhat tidak semata terhadap zat sesuatu tetapi proses dan cara mencapai sesuatu juga tidak bisa mengabaikan halal-haram. Sesuatu yang halal zatnya bisa berubah haram karena proses mencapainya menggunakan cara-cara haram. Inilah fenomena yang nyaris menjadi tradisi.
Dunia syubhat, demikian Rasulullah SAW bersabda, adalah dunia yang tidak semua orang mengetahuinya-Laa ya'lamuhaa katsiirun minan-naas. Artinya, Rasul melihat hal ini penting untuk diperhatikan sehingga penting pula bagi kita untuk berhati-hati. Kalau tidak tahu pasti kehalalannya, wajib bagi kita untuk meninggalkannya.
Memang, situasi ini amat menipu sehingga begitu banyak manusia terjebak di dalamnya. Demikianlah, ilmu fikih secara panjang lebar menjelaskannya dari berbagai sudut pandang. Tetapi, karena perkembangan dan dinamika kehidupan, maka pada bagian tertentu ilmu seputar halal-haram juga mengalami up-dating. Sudah barang pasti hal itu harus selalu merujuk kepada Alquran, al-Hadis, serta ijma ulama dan qiyas/analogi.
Nah, soal abu-abu, juga terjadi dalam ranah tauhid. Dalam urusan yang berkaitan dengan aqidah ini, dunia abu-abu biasa ditempati oleh kaum munafik. Satu kaki diletakkan bersama kaum beriman, tetapi kaki lainnya tertancap kuat bersama kaum kuffar.
Tetapi, Alquran tegas menghukumi; mereka bergabung dengan orang-orang kafir. "Wa idzaa laqulladziina aamanuu qaaluu amannaa wa idzaa kholau ilaa syayaathiinihim qaalu innaa ma'akum-Jika bertemu dengan orang-orang beriman, mereka berkata "kami telah beriman", tetapi jika berbalik kepada setan-setan, mereka juga berkata, "Sesungguhnya kami bersama kalian." (QS Al-Baqarah [2]: 14). Kalau ingin hidup terus mengalirkan keberkahan, mari membiasakan diri secara istiqamah mengamalkan hal yang halal dan meninggalkan yang haram. Wallaahu a'lamu bish shawaab.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Minggu, 11 September 2011