Kamis 20 Aug 2020 22:32 WIB

Masjid Raya Ganting Simbol Ukhuwah di Tanah Minang

Tokoh masyarakat, ulama Padri, Belanda, dan etnis Cina turut andil membangun masjid.

Rep: c15/ Red: Muhammad Fakhruddin
Masjid Raya Ganting di Padang, Sumatra Barat.
Foto: en.wikipedia.org
Masjid Raya Ganting di Padang, Sumatra Barat.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejarah Kota Padang, Sumatra Barat, tak bisa terpisahkan dari sebuah masjid tua bernama Masjid Raya Ganting. Masjid bersejarah bergaya Timur Tengah dan Eropa di Kelurahan Ganting, Kecamatan Padang Timur, itu menjelaskan kondisi Islam masa lampau di Bumi Minangkabau.

Masjid Raya Ganting berdiri di atas lahan seluas 102 x 95,6 meter persegi dengan bentuk bangunan persegi panjang simetris berukuran 42 x 39 meter. Luas bangunan yang kurang dari seperlima luas lahan menyisakan halaman luas yang sangat berguna untuk menampung jamaah dalam momen tertentu, seperti shalat Id.

Bangunan seluas 1.638 meter persegi itu terbagi menjadi empat bagian utama, yakni serambi muka seluas 12 x 39 meter persegi, serambi kanan dan kiri (masing-masing berukuran 30 x 4,5 meter), dan ruang utama (30 x 30 meter). Di dalam masjid, terdapat 25 tiang berlapis marmer putih, melambangkan jumlah nabi dan rasul yang harus diimani. Masing-masing tiang berhiaskan kaligrafi 25 nama nabi tersebut.

Tiang-tiang itu sekaligus menjadi penopang bangunan atap berundak di atasnya. Atap Masjid Ganting berundak dan memiliki empat tingkat. Tingkat pertama bercorak tradisional mirip rumah adat Sumatra dengan bentuk segi empat tanpa gonjong (ujung yang meruncing).

Sedangkan tingkat kedua hingga keempat berbentuk oktagonal (persegi delapan) seperti atap kelenteng. Di antara dua tingkat, terhadap celah yang berfungsi sebagai ventilasi serta pencahayaan.

Serambi depan Masjid Raya Ganting memiliki enam buah pintu di sisi timur dan dua pintu di utara dan selatan. Di antara masing-masing pintu masuk serambi sisi timur terdapat hiasan tiang kembar yang menyatu dengan dinding. Di bagian tengah deretan pintu itu terdapat sebuah bangunan mimbar yang menjorok keluar. Mimbar itu bersifat permanen dan difungsikan saat khutbah shalat Id. Jika sedang tak digunakan, mimbar itu ditutup oleh pintu teralis besi.

Ruang serambi utama berlantai ubin kuning polos berukuran 20 x 20 cm. Di ruang ini terdapat tujuh buah tiang silinder ganda berdiameter 45 cm yang terbuat dari beton. Masing-masing tiang ganda berdiri di atas balok berukuran 113 x 67 x 70 cm. Selain tujuh tiang itu, terdapat dua tiang lain berbentuk prisma segi empat. Keduanya terletak di sisi utara dan selatan, berdekatan dengan ruangan segidelapan yang terhubung dengan menara masjid.

Dinding bagian luar serambi utama ini dihiasi motif geometris berupa panil-panil persegi panjang, mengelilingi lengkungan-lengkungan pintu masuk. Dua dari enam lengkungan tersebut ditindih hiasan berbentuk busur yang menyerupai kipas. Sedangkan dua dinding yang mengapit keenam pintu masuk utama itu, yang sekaligus menjadi bagian luar dinding ruangan segi delapan di sisi selatan dan utara, terdapat motif cincin dan mata kapak.

Serambi di sisi utara dan selatan menggunakan ubin segi enam berwarna hijau muda. Masing-masing memiliki dua buah pintu masuk yang salah satunya tehubung dengan tempat wudlu. Di bagian barat masing-masing serambi, terdapat sebuah sekat yang menciptakan ruangan berukuran 4,5 x 3 meter. Ruangan dengan satu pintu dan satu jendela itu dibuat untuk tempat tinggal pengurus masjid (ribath).

Masjid Raya Ganting memiliki delapan pintu di bagian dalam dan 17 buah jendela bergaya Persia. Empat di antaranya berada di sisi timur (dari arah serambi utama) serta masing-masing dua pintu dari arah serambi utara dan selatan. Semua pintu dan jendela itu terbuat dari kayu dengan ambang atas yang juga berhiaskan lengkung bujur seperti kipas. Dari 17 jendela yang ada, enam di antaranya berada di dinding sisi barat masjid, tiga buah di sisi utara dan selatan, serta dua buah di sisi timur.

Dinding bagian dalam ruang utama dilapisi keramik bermotif bunga, sedangkan lantainya merupakan susunan ubin kuning berukuran 30 x 30 sentimeter. Di sisi barat, terdapat mihrab yang diapit dua ruangan.

Di dalam ruangan utama ini, pernah dibuat bangunan muzawwir yang menjadi salah satu ciri khas Masjid Ganting. Muzawwir digunakan untuk mengumandangkan azan serta tempat bagi seorang penyambung suara imam yang mempermudah makmum mengikuti gerakan imam.

Muzawwir berbentuk panggung, berukuran 4x4 meter, dan sarat ornamen bergaya Cina. Konon, bangunan tersebut dibangun atas sumbangan seorang Cina di Padang dan pembuatannya dikerjakan langsung oleh ahli ukir Cina di kota tersebut. Setelah ada pengeras suara, bangunan tersebut tidak digunakan dan dibongkar pada 1978.

Di sebelah selatan dan barat masjid terdapat area yang berisi beberapa makam. Makam-makam itu dibuat sederhana dan hanya dibatasi tembok berbentuk persegi panjang. Salah satu di antaranya adalah makam Angku Syekh Haji Uma, salah satu pemprakarsa pembangunan Masjid Gantiang.

Selain itu, di area makam sebelah barat terdapat sebuah prasasti yang menjelaskan beberapa tokoh lain yang dimakamkan di sana. Prasasti itu berbunyi, "Di sini disemayamkan: Yml. Radja Bidoe Glr. Marahindra Toeangkoe Panglima Radja di Padang, vide Besluit Gouverneur Generaal Gegeven to Boitenzorg, 9 Oktober 1830, wafat 1833; Yml Marah Soe'ih Glr. Marahindra Toetngkoe Panglima Regent di Padang, vide Besluit Governeur General Gegevente Batavia, 16 Augustus 1868, wafat 1875: Beliau keduanya dari Soekoe Tjaniago Soemagek Kampung Alam Lawas Padang."

Masjid Raya Ganting pertama kali dibangun pada 1700 M di atas tanah wakaf dari tujuh suku yang diserahkan melalui Gubernur Jenderal Ragen Bakh, penguasa Hindia Belanda di Sumatra Barat waktu itu. Mulanya masjid tersebut dibangun di Kaki Gunung Padang.

Namun, karena Belanda bermaksud membangun jalan ke Teluk Emmahaven (sekarang Teluk Bayur), masjid tersebut dipindahkan ke tepi Sungai Arau. Dari sana, masjid kembali dipindahkan ke tempat yang menjadi lokasinya sekarang.

Konstruksi awalnya sangat sederhana sehingga beberapa catatan sejarah menyebutnya surau. Bangunannya dibuat dari kayu, sedangkan atapnya dari rumbia (rumput kering). Atas prakarsa dari tiga tokoh masyarakat setempat pada 1805, yakni Angku Gapuak (saudagar), Angku Syekh Haji Uma (tokoh masyarakat), dan Angku Syekh Kepala Koto (pemuka agama) direncanakanlah pembangunan masjid yang lebih baik.

Biaya pembangunan berasal dari sumbangan para saudagar dari Padang, Sibolga, Medan, Aceh, serta ulama Minangkabau. Masjid dibangun dengan ukuran 30x30 meter, ditambah serambi di tiga sisinya. Lantainya terbuat dari batu kali bersusun yang diplester menggunakan tanah liat.

Pembangunan tersebut mendapat simpati dari seorang anggota Corps Genie (Militer Belanda) berpangkat kapten yang menjabat Komandan Genie Sumatra Barat dan Tapanoli. Ia memberikan bantuan dengan mendatangkan pekerja untuk membantu penyelesaian pembangunan. Lima tahun kemudian, pada 1810, pembangunan tersebut berhasil diselesaikan.

Pembangunan tahap kedua dimulai pada 1900, ketika dilakukan penggantian lantai dengan ubin segi enam berwarna putih. Ubin yang didatangkan dari Belanda itu dipesan melalui perusahaan dagang Belanda NV Jacobson van de Berg. Pemasangan ubin dilakukan oleh tukang-tukang yang ditunjuk langsung oleh perusahaan dan selesai pada 1910.

Selanjutnya, 50 tahun kemudian, dilakukan pemasangan keramik pada tiang-tiang di ruang utama yang terbuat dari batu bata itu. Pada periode ini pula, dilakukan pembuatan bagian depan bangunan masjid yang mirip benteng Spanyol. Juga pembuatan menara oktagonal di sisi utara dan selatan yang selesai pada 1967. Lalu pada 1995, dilakukan pemasangan keramik pada dinding bagian dalam ruang utama.

Selain dari Belanda, konon bantuan juga datang dari etnis Cina. Di bawah komando Kapten Lou Chian Ko, para pekerja Cina mengerjakan atap kubah berbentuk segi delapan yang menyerupai bangunan atap kelenteng itu. Bahkan, menurut sumber lainnya, ketika gerakan ulama Padri mulai bangkit, mereka mengambil peran dengan mengirim beberapa ahli ukir Minangkabau. Merekalah yang kemudian membuat ukiran pada papan les plang atap masjid. 

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Minggu, 11 Desember 2011

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement