REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gaya hidup halal dinilai bukan isu Islamisasi sebab ada unsur bisnis besar bagi mereka yang melihat peluangnya. Dengan potensi besar, Indonesia harusnya bisa jadi salah satu pemain utama industri halal.
Tim Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Sapta Nirwandar mengatakan, gaya hidup halal bukan isu Islamisasi, melainkan pilihan. Di dalamnya pun ada bisnis menjanjikan. ''Halal itu bukan soal syariat saja, melainkan soal bisnis,'' kata Sapta dalam Indonesia Halal, Business, Fashion & Food Expo (IHBF Expo 2015) di Jakarta, Jumat (4/12).
Sapta mencontohkan Singapura yang sudah mengembangkan diferensiasi makanan halal. Singapura miliki restoran halal dan dapur halal. Berbeda dengan restoran halal yang sudah menyajikan semua makanan dan minumam halal, dapur halal masih menyediakan minuman tidak halal dengan informasi yang jelas.
Gaya hidup halal salah satunya juga mode (fashion). Mantan wakil menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu melihat Indonesia harusnya jadi pusat mode Islam dunia. Selain ide-ide unik para perancang nasional, Indonesia juga punya corak warna yang beragam.
Dalam laporan States of Global Islamic Economy 2015-2016 (SGIE 2015-2016), belanja komunitas Muslim untuk produk mode mencapai 230 miliar dolar AS pada 2014. Di antara negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia ada di peringkat lima konsumen utama produk mode Islami dengan volume 12,69 miliar dolar AS.
Pusat Pengembangan Ekonomi Islam Dubai (DIEDC), Thomson Reuters, dan DinarStandard, belum lama ini, mengeluarkan laporan tentang sejumlah pemain utama dunia mode Islami. Mereka adalah pameran mode Islamic Fashion Fair, media majalah Noor, dan perancang busana Islami, Dian Pelangi.
Pada subsektor pariwisata, tercatat 300 juta warga Muslim bepergian tiap tahun. Mereka merupakan konsumen potensial produk halal.
Laporan SGIE 2015-2016 juga menyebutkan belanja komunitas Muslim global untuk pariwisata mencapai 142 miliar dolar AS pada 2014 atau naik 6,3 persen dibandingkan catatan pada 2013. Nilai belanja komunitas Muslim untuk pariwisata diprediksi akan mencapai 233 miliar dolar pada 2020.
Pelancong asal kawasan Teluk (GCC) terbilang signifikan menghabiskan dananya di sektor ini. Meski populasi Muslim di sana hanya tiga persen dari total populasi Muslim global, pengeluaran mereka untuk pariwisata mencapai 37 persen dari total pengeluaran untuk wisata komunitas Muslim global pada 2014.
Dalam laporan yang sama, Indonesia jadi salah satu tujuan wisata pelancong asal kawasan Teluk. Sofyan Hotel termasuk salah satu contoh hotel yang bersahabat bagi mereka yang mencari hotel halal.
Di Kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih harus bersaing ketat dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura yang lebih dulu mengembangkan wisata halal dan produk halal.
Ekspo, seperti IHBF, lanjut Sapta, harus dibesarkan karena halal jadi isu global saat ini. Kegiatan semacam ini juga jadi ajang edukasi bagi kaum muda untuk menjalankan gaya hidup halal.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Senin, 07 Desember 2015