REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Alwi Shahab
Cornelis Matelief Jonge, pemimpin armada Belanda, ketika menjelajahi Teluk Jakarta (1607), membuat gambar kota Jayakarta yang berada di tepi pantai. Terlihat sebuah masjid, yang menurut sejarawan Adolf Heuken sebagai masjid pertama di Jakarta. Pada Mei 1619, masjid ini dibumi-hanguskan oleh JP Coen, ketika dia menaklukkan Jayakarta.
Menjadi pertanyaan, apakah masjid yang dibangun dari kayu terletak beberapa puluh meter sebelah selatan Hotel Omni Batavia (kira-kira terminal angkutan darat Jakarta Kota) itu merupakan masjid pertama di Ibukota? Tanah bekas masjid itu kemudian digunakan untuk membangun sebuah perwakilan dagang Inggris.
Pada paruh abad ke-14 di Karawang, Jawa Barat, berdiri pesantren Kuro. Karawang, seperti juga Sunda Kalapa, ketika itu termasuk wilayah Kerajaan Pajajaran yang dipimpin prabu Siliwangi. Ketika sang prabu mengunjungi pesantren Kuro, ia jatuh hati pada seorang santri bernama Subang Larang. Mereka menikah dan dikarunia seorang putera, Kyan Santang, yang kemudian menyebarkan agama Islam.
Ketika itu, orang Betawi banyak menjadi pengikut Islam. Para pendeta di Pajajaran menilai Kyan Santang melakukan penyimpangan, atau langgara. Karena itu, tempat sembahyang pengikut Islam di sebut langgar. Warga Betawi masih banyak menyebut langgar untuk sebutan mushola. Sedang tempat shalat yang lebih besar mereka sebut masjid atau masigit. Jadi, menjelang abad ke-15 sudah berdiri masjid di Jakarta.
Karena Islam dianggap membahayakan, maka Pejajaran melakukan perjanjian dengan Portugis yang membuat Sultan Trenggano dari Demak menjadi amat gusar. Dia kemudian mengirimkan seorang mubaligh sekaligus panglima, Fatahilah, dengan balatentaranya untuk menyerbu Sunda Kalapa dan mengusir Portugis. Fatahillah mendirikan kadipaten di sebelah barat muara Ciliwung. Di sebelah timur didirikan aryan -- perumahan untuk pejabat kadipaten dan keluarganya yang didatangkan dari Banten.
Pada abad ke-17 orang dari berbagai bangsa di Nusantara bertemu di Jakarta. Adat kebiasaan masing-masing terpaksa ditinggalkan karena beraneka ragam. Karena itu, kampung-kampung di sekitar kota dan desa-desa pedalaman bersatu dalam hal agama, dan kemudian dalam hal bahasa Melayu Betawi.
Gereja reformasi, tulis Hayken, tak sampai mencoba penginjilan, karena dianggap mustahil mentobatkan orang Muslim atau Tionghoa. Kecuali kegiatan Katholik yang dilarang sampai 1806. Batavia dan daerah sekitarnya mengalami semacam 'Melayunisasi' cepat setelah tahun 1700. Letnan Gubernur Jenderal Raffles sampai menulis pujian terhadap perkembangan Islam yang pesat pada masanya.
Untuk menjajaki sejumlah masjid tua yang sampai kini masih berdiri, baiklah kita mendatangi Masjid Al-Alam di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Masjid ini dibangun oleh Fatahilah dan pasukannya untuk menyerang Portugis (1527). Ada keyakinan masyarakat di sini, bahwa Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari.
Hingga kini masjid yang terletak di tepi pantai itu tidak pernah sepi. Selalu diziarai, lebih-lebih pada malam Jumat kliwon. Seratus tahun kemudian (1628-1629), ketika ribuan prajurit Mataram pimpinan Bahurekso menyerang markas VOC (kini gedung museum sejarah Jakarta) para prajurit Islam ini lebih dulu singgah di Marunda guna mengatur siasat perjuangan. Bahkan, ada yang mengatakan masjid ini dibangun oleh prajurit Sultan Agung.
Dalam bulan puasa ini, ada hal-hal istimewa yang akan kita dapati bila mengunjungi masjid-masjid tua di Jakarta. Di samping mendapatkan siraman rohani, kita akan mendapatkan pula kisah-kisah heroik perjuangan umat Islam di masa lalu. Mencontoh fungsi masjid di masa Rasulullah SAW, masjid tua itu, melalui para jamaahnya, telah mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajahan Belanda. Bahkan, pernah dijadikan sebagai markas perjuangan pada masa revolusi fisik (1945-1949) melawan NICA.
Ada Masjid As-Salafiah di Jatinegara Kaum, dekat Pulo Gadung, Jakarta Timur. Masjid ini didirikan oleh Pangeran Ahmed Jakerta, setelah ia hijrah dari Jayakarta pada tahun 1619 akibat gempuran VOC. Di tempat yang empat abad lalu masih terpencil dan berupa hutan belukar itu pangeran membangun masjid yang hingga kini masih diabadikan. Ini terlihat dari empat tiang utama yang terbuat dari kayu jati yang menjadi penyangganya. Sekalipun sudah delapan kali direnovasi dan diperluas, empat tiang penyanggah ini masih kita dapati.
Dari Masjid As-Salafiah inilah, pangeran Jayakarta dan pengikutnya mengobarkan semangat jihad untuk terus menerus mengusik Belanda. Menurut sejarah versi Belanda, sampai 1670 Batavia tidak pernah aman dari gangguan keamanan akibat aksi gerilya tersebut. Ketika Sultan Agung menyerang Batavia, Jatinegara Kaum kembali memegang sejarah penting. Di masjid ini kita masih mendapati makam Pangeran Ahmed Jakerta, para keluarga dan pengikutnya.
Glodok yang selalu hingar bingar -- apalagi saat puasa sekarang ini -- juga banyak memiliki masjid tua. Di Jl Pengukiran II, misalnya, terdapat masjid Al-Anshor yang didirikan oleh para pendatang dari Malabar (India) pada abad ke-17. Tepatnya pada 1648. Ada lagi Masjid Kampung Baru yang didirikan pada tahun 1748 yang kini hanya tersisa beberapa dari bangunan aslinya.
Tidak jauh dari tempat itu, di tepi kali Angke di Jl Pekojan, Jakarta Barat, terdapat sebuah surau yang disebut Langgar Tinggi. Disebut demikian karena langgar ini agak tinggi dan berlantai dua. Para Muslim India juga berperan dalam membangun langgar ini. Masih di kawasan Pekojan, terdapat masjid yang dibangun pada abad ke-18. Masjid an-Nawier (Cahaya) erat kaitannya dengan masjid kuno di Kraton Solo dan Banten. Ikut berperan dalam penyebaran Islam. Masih terdapat puluhan lagi masjid tua di Jakarta yang ikut berperan dalam penyebaran Islam dan memeprtahankan kemerdekaan.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Minggu, 30 September 2007