REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tiada predikat yang lebih baik bagi seorang yang usai menunaikan ibadah haji, selain mabrur. Itulah puncak prestasi seorang haji.
Apakah mabrur itu? ''Mabrur itu adalah kembali kepada komitmen awal kita kepada Allah,'' kata M. Kosasih, manajer senior Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) yang juga aktif dalam sejumlah kelompok pengajian dan bimbingan ibadah haji.
Ia menambahkan, pada waktu usia kita empat bulan dalam kandungan ibu kita, kita sudah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan kita. Namun, dalam perjalanan hidup, kita seringkali melupakan komitmen tersebut.
''Nah, ketika berhaji kita menyatakan kembali komitmen kita kepada Allah, kita berusaha memenuhi janji kita untuk kembali kepada akidah yang benar dan sebagainya dalam hidup kita. Dan janji itu tidak hanya berlaku selama kita berada di Tanah Suci, melainkan juga setelah kita kembali ke kampung halaman kita. Itulah yang disebut mabrur,'' papar Kosasih kepada Republika.
Sekjen Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kabupaten Boyolali, Ustadz Matyoto Fahruri mengatakan, haji yang mabrur artinya haji yang baik, haji yang diterima oleh Allah SWT, haji yang tidak dikotori oleh perbuatan-perbuatan rafats (hubungan lelaki-perempuan yang tidak sesuai syariat), fasiq (melakukan perbuatan yang dilarang agama), dan jidal (pertengkaran di antara sesama jamaah haji).
''Ketiga hal itu harus selalu menjiwai seorang haji, baik sewaktu berada di Tanah Suci maupun setelah berada di Tanah Air dan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat,'' tegas Ustadz Matyoto Fahruri kepada Republika.
Pimpinan Wisata Hati, Ustadz Yusuf Mansur mengatakan haji yang mabrur harus ada mengandung dua ciri. Yakni, ada getaran perubahan, dan berangkat haji dengan rezeki yang halal.
Getaran perubahan itu, kata Yusuf Mansur, baik sebelum berangkat, waktu di Tanah Suci, atau minimal setelah pulang nantinya. Perubahan ibadah, perilaku/akhlak, dan perubahan ke arah yang lebih baik dari kehidupan sebelum mendaftarkan diri berhaji. ''Getarannya bahkan sudah terasa sebelum hajinya itu sendiri dilakukan,'' tegas Ustadz Yusuf Mansur kepada Republika.
Sebaliknya, kata Yusuf Mansur, haji yang tidak membawa perubahan apa pun dalam kehidupannya adalah haji yang sia-sia. ''Misalnya, pulang haji tetap doyan makan rizki haram, tak merasa Ka'bah pernah ia injak, tak merasa Allah Maha Melihat, tak bisa menjaga pergaulan, tetap sombong, kikir dan berbuat maksiat,'' paparnya.
Pimpinan Yayasan Berkah Haromain Padang, Ustadz Afif Abdulhaady mengatakan setiap jamaah haji harus berupaya sekuat daya untuk meraih kemabruran dalam ibadahnya. ''Menemukan makna mabrur itu tidak hanya selama kita menunaikan ibadah haji, melainkan juga setelah kita pulang ke Tanah Air. Hidup kita harus berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya, itulah yang disebut mabrur,'' kata Afif Abdulhaady kepada Republika.
Afif menyebutkan, ada ulama yang mengatakan mabrur itu mempunyai tiga ciri, yakni Salam, Kalam, dan Tho'am. Salam, artinya, orang yang sudah berpredikat haji itu membawa kedamaian bagi masyarakat sekelilingnya. Kalam, artinya, orang yang sudah bergelar haji itu ucapannya terjaga, tidak suka menyakiti hati orang lain. Tho'am artinya adalah orang yang sudah menjadi haji mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Lalu, bagaimana agar bisa meraih kemabruran dalam berhaji? Menurut Ustadz Afif, jamaah haji harus memahami makna rangkaian ibadah haji, mulai ihram sampai tawaf wadha (penghabisan). ''Untuk itu, calon jamaah haji harus berusaha mempersiapkan dirinya dengan sebaik mungkin, baik dengan cara mengikuti latihan manasik haji, membaca buku-buku tentang haji, maupun bertanya kepada para ulama atau orang yang ahli,'' tuturnya.
Sedangkan pelaksanaan haji, supaya mabrur, ada dua intinya. ''Niat yang ikhlas, dan beribadah haji sesuai dengan contoh (Sunnah) Rasul, baik rukun, wajib, maupun sunnahnya,'' tegas Ustadz Afif.
Ustadz Matyoto Fahruri mengatakan, untuk meraih kemabruran itu, kata Fahruri, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang haji, baik sebelum berangkat maupun setelah pulang haji. Pertama, harus dengan ilmu, khususnya mengenai keimanan kepada Allah. Kedua, harus rajin mendatangi majelis ilmu maupun belajar Islam lewat media cetak dan elektronik maupun buku. Ketiga, selalu bersilaturahim dan bergaul dengan orang-orang saleh.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 17 Nopember 2006