Selasa 22 Sep 2020 07:42 WIB

Mengenal Konflik Etnik Melayu Muslim di Thailand Selatan

Dinamika konflik di wilayah Muslim Pattani tergantung respons pemerintah Thailand

 Anak-anak mengamati bangunan sekolah yang hangus dibakar di Provinsi Pattani, Thailand, Ahad (12/10). (REUTERS/Surapan Boonthanom)

Konflik kekerasan di Thailand Selatan tidak berjalan konstan. Dinamika konflik ini dipengaruhi oleh respons dari Pemerintah Pusat. Thailand Selatan merupakan basis pendukung dari Partai Demokrat sejak tahun 1975-2005. Akibatnya, baik pada masa Pemerintahan Chuan Leekpai dan Abhisit Vejjajiva tetap mempertahankan institusi SPBAC, CPM-43, beserta constructive engagement dengan penduduk Thailand Selatan (Croissant 2007).

Walaupun institusi SBPAC dan CPM-43 adalah karya Prem Tinsulanonda, namun ia berasal dari militer dan tidak membutuhkan dukungan dari rakyat untuk dapat menjadi Perdana Menteri. Pada masa dominasi dan pemerintahan Partai Demokrat, tingkat konflik kekerasan di Thailand Selatan cenderung menurun. Setelah berakhirnya Pemerintahan Chuan Leekpai tahun 2001 dan digantikan dengan Thaksin, insiden kekerasan naik dari 50 di tahun 2001 menjadi 75 di tahun 2002 dan 119 di tahun 2003 (Melvin 2007, p.30).

Korelasi menurunnya konflik kekerasan dengan sikap akomodatif dari Partai Demokrat terhadap penduduk Thailand Selatan dapat dijelaskan dengan pendekatan institusionalisme terutama terkait dengan pemilu. Dalam kasus ini, Pemerintah Partai Demokrat menerapkan otonomi (federalisme) yang artinya kekuatan lokal dapat menentukan pemerintahannya dengan minimum ketetapan yang ditekan dari pemerintah pusat (Mahakanjana 2006, p.16). Artinya, dalam masa tersebut lokal elit mampu menjalankan pemerintahannya dengan basis agama Islam dan penghormatan terhadap budaya Melayu.

Wilkinson (2004) menambahkan korelasi pemerintah mau melindungi minoritas dan granting their rights karena sistem demokrasi memungkingkan terjadinya vote-pooling dimana partai politik bergantung pada suara minoritas (support base) untuk memenangkan pemilu. Hal ini terjadi pada Partai Demokrat di Thailand Selatan pada Pemilu 2011 yang mendapatkan 9 dari 11 kursi.

Kesimpulan

Konflik kekerasan etnik di Thailand Selatan bersifat kompleks sehingga memerlukan pendekatan integratif dan kompleks untuk menganalisa penyebab dan dinamika yang terjadi di dalamnya.

Temuan utama di tulisan ini adalah penyebab konflik di Thailand Selatan merupakan bentuk kepentingan elit lokal untuk memertahankan kekuasaan karena pemerintah Thailand yang terus mencoba melakukan asimilasi dan sentralisasi.

Berhasilnya mobilisasi dari elit lokal dengan pemilihan ‘master cleavage’ etnik Melayu dan Muslim dikarenakan gagalnya institusi yang dibentuk pemerintah pusat untuk mengakomodir kepentingan elit lokal. Adanya SBPAC dan CPM-43 nyatanya berhasil menekan angka kekerasan walaupun bukan berarti menghilangkannya.

Dengan demikian, penulis cenderung melihat konflik ini sebagai hal yang saling memengaruhi dimana kegagalan institusionalisme menyebabkan keberhasilan mobilisasi etnik oleh elit lokal dan sebaliknya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement