REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Undang-undang Cipta Kerja Omnibus Law telah disahkan oleh DPR. Ketentuan dalam UU Cipta Kerja salah satunya menyinggung soal sertifikasi produk halal. Namun, beberapa ketentuan terkait sertifikasi halal dalam UU tersebut dinilai mengaburkan dan bahkan menghilangkan substansi dari halal itu sendiri.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Lukmanul Hakim, mengatakan prihatin dengan UU Cipta Kerja yang baru-baru ini diketok palu. Padahal, tadinya UU Cipta Kerja itu diharapkan bisa memberikan posisi substansi yang lebih baik. Meski tujuannya untuk mempermudah investasi dan mempercepat proses sertifikasi halal, tetapi faktanya Lukman melihat banyak pasal yang justru membuat substansi (esensi) halal menjadi kabur dan bahkan hilang.
"Kita menyayangkan dan prihatin dengan UU Omnibus Law, karena keluar dari substansi halalnya. Esensi halalnya jadi ambyar," kata Lukman, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/10) malam.
Lukman menunjukkan pasal yang dinilainya justru mengaburkan esensi halalnya, yakni pada pasal 35A. Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 35A berbunyi:
(1) Apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal maka LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi.
(2) Apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikasi halal.
Dalam UU Cipta Kerja tersebut, Komisi Fatwa MUI diberi tugas memfatwakan halal hingga tiga hari. Jika sampai tiga hari fatwanya belum keluar, BPJPH bisa menerbitkan sertifikat halal sendiri. "Hal itu menjadikan esensi halalnya hilang, yang ada proses perizinan atau administratifnya saja," ujar Lukman.
Lukman mengatakan, Komisi Fatwa MUI tentunya akan mengusahakan mengerjakan tugas tersebut kurang dari 3 hari, ketika itu hal-hal yang sifatnya umum. Akan tetapi, menurutnya, ada hal-hal seperti kasus baru, di mana Komisi Fatwa perlu melakukan kajian dengan memanggil para ahli.
Contoh sebelumnya tentang vaksin meningitis. Saat itu, Komisi Fatwa dipimpin KH. Ma'ruf Amin melakukan rapat hingga 9 kali untuk menggali dalil terkait kehalalan vaksin tersebut.
Selanjutnya, Lukman mengkritisi bunyi Pasal 42 ayat (3), "Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, BPJPH dapat langsung menerbitkan perpanjangan sertifikasi halal."
Lukman menilai, bunyi terkait BPJPH yang bisa langsung menerbitkan sertifikat halal sendiri jelas menghilangkan esensi halalnya. Pasalnya, halal merupakan sebuah hukum, dan tetap harus melalui proses penetapan hukum atau isbat hukum yang ditetapkan Komisi Fatwa atau ulama. Kalaupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dibuka melalui ormas Islam dan perguruan tinggi, menurutnya, LPH tersebut haruslah yang memiliki akreditasi atau memiliki standar.
"Sekarang tanpa isbat langsung diterbitkan, itu yang disebut tahakum (membuat-buat hukum), sehingga esensi halalnya menjadi hilang. Bagaimana kita tahu perusahaan tidak melakukan perubahan pada komposisi produknya. Kemudian bagaimana hukumnya? harus ada ketetapan hukum," lanjutnya.
Selanjutnya, Lukman juga menyoroti soal UU Cipta Kerja yang menghapus syarat auditor halal. Ketentuan terkait auditor halal telah diatur dalam UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Dalam UU JPH tersebut, terdapat syarat yang mengharuskan auditor halal itu yang disertifikasi ulama atau MUI. Namun, dalam UU Cipta Kerja ini kata 'disertifikasi' dihapus. Yang penting, Auditor Halal disebutkan memahami wawasan Islam.
Ia menuturkan, Auditor Halal pada dasarnya merupakan saksi daripada ulama dalam menetapkan halal. Sebab, ulama membutuhkan saksi berkaitan dengan ilmu dan teknologi yang memang tidak dikuasainya. Karena itulah, ulama dalam hal ini MUI harus mengangkat seorang saksi yang bisa melihat dan mengkaji dengan ilmu dan keahliannya. Saksi tersebut harus ditetapkan ulama dengan cara disertifikasi MUI.
"Auditor Halal itu adalah saksi daripada ulama, karenanya harus diangkat dan ditetapkan oleh ulama. Cara menetapkan dan mengukur pemahaman wawasannya pada Islam ialah dengan sertifikasi itu," katanya.
Lukman juga menyayangkan soal ketentuan deklarasi halal mandiri (self declare) bagi pelaku Usaha Menengah dan Kecil (UMK) yang memiliki risiko rendah. Ia menilai dengan demikian telah keluar dari substansi halal sebagai hukum Islam dan halal hanya menjadi materi administratif. Menurutnya, ketentuan self declare bagi UMK ini sangat jauh berbeda dengan apa yang MUI perjuangkan selama ini, bahwa halal merupakan sebuah hukum yang diambil dari hukum Islam. Kini, kata dia, halal menjadi hanya bentuk administrasi perizinan atau perdagangan saja.
Selain itu, ia menyebut 'self declare' terkait halal itu diskriminatif. Sebab,hanya UMK yang diperbolehkan melakukannya, sementara pengusaha besar tidak.
"Saya mengkaji, bagaimana pemahaman UMK bahwa produknya halal atau tidak halal dan bagaimana cara dia memahami soal standar halal tersebut," jelasnya.
UU Cipta Kerja juga mengatur terkait Proses Produk Halal (PPH). Sebelumnya, pelaku usaha wajib memisahkan lokasi, tempat, dan alat yang digunakan untuk PPH sesuai UU JPH. Jika tidak melaksanakan aturan itu, pengusaha terancam sanksi administratif berupa peringatan tertulis atau denda. Namun, dengan UU Cipta Kerja, sanksi itu diubah menjadi hanya sanksi administratif tanpa dijelaskan lebih detail.
Melihat ini, Lukman mengatakan bahwa pemisahan proses produksi halal dan tidak halal itu penting, untuk menghindari kemungkinan terjadinya pencemaran atau bercampurnya halal dan non-halal. Sebab jika bercampur antara yang halal dan non-halal, maka produk tersebut menjadi tidak halal.
"Sekarang tidak disanksi apa-apa ya kalau hanya sanksi administratif, agak susah akan diikuti. Menurut saya UU JPH dalam konteks ini malah lebih baik dari UU Cipta Kerja terkait substansi halalnya," katanya.
Lukman menegaskan ia tidak mempermasalahkan soal peran MUI dalam UU Cipta Kerja ini. Karena menurutnya, UU JPH sebenarnya telah mengatur pembagian peran, sementara substansinya tetap dikawal.
Alih-alih memberikan kemudahan proses sertifikasi halal dan mempermudah investasi, Lukman menilai UU Cipta Kerja ini justru mengorbankan esensi halalnya itu sendiri. Jika demikian, ia menyebut sertifikasi halal sifatnya menjadi tidak mandatory atau wajib, melainkan voluntary (bagi yang membutuhkan saja).
Ia menambahkan, pihaknya sebenarnya sudah banyak memberikan masukan kepada DPR terkait pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja tersebut. Akan tetapi, faktanya tidak berubah.
"Kita sangat prihatin dalam masalah substansinya. Ini kan akibat dari mandatory sertifikasi halal yang kemudian diterjemahkan jadi perizinan dan perdagangan halal, dan kemudian diterjemahkan seolah menjadi sulit perizinan itu, maka dibuatlah mempermudah. Tetapi ketika mempermudah itu esensinya halalnya malah menjadi hilang. Sebab dalam kaidahnya, daripada tahakum itu malah menjadi dosa. Ini terkesan mandatory mempersulit perizinan," tambahnya.