REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR memperkuat monopoli sertifikasi halal kepada satu lembaga. Pandangan tersebut merupakan salah satu dari beberapa poin pernyataan sikap PBNU yang ditandatangani Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekjen Helmy Faishal Zaini.
"Semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi, termasuk dalam masalah sertifikasi halal. Pasal 48 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa kepada satu lembaga," kata Kiai Said dalam pernyataan sikap PBNU yang diterima Republika.co.id, Jumat (9/10).
PBNU memandang, sentralisasi dan monopoli fatwa di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi. Selain itu negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal.
Selain itu PBNU juga mengkritik kualifikasi auditor halal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14. Kualifikasi yang disebut di dalam UU Ciptaker adalah sarjana bidang pangan, kimia, biokimia,teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian.
"Pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal sangat bias industri, seolah hanya terkait proses produksi pangan, tetapi mengabaikan mekanisme penyediaan pangan secara luas," kata Kiai Said.
Karena itu, PBNU melalui pernyataan sikap tersebut setuju membawa UU Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi. NU bersama para pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
"Dalam suasana pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong rantai penularan, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhomat dalam mencari keadlan dibanding mabilisasi massa," ucap Kiai Said dalam pernyataan sikap PBNU.
Untuk diketahui, UU Ciptaker memungkinkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk langsung menerbitkan sertifikat halal tanpa melewati Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini diketahui dalam draf RUU Ciptaker yang telah disahkan menjadi UU.
Pasal 48 UU Ciptaker menyisipkan satu pasal tambahan yakni Pasal 35A di antara Pasal 35 dan Pasal 36 UU JPH. Pasal 35A itu menyatakan bahwa, bila MUI tidak bisa memenuhi batas waktu yang telah ditentukan dalam menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.
Kemudian pada Pasal 48 UU Ciptaker, disebutkan bahwa penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI dalam Sidang Fatwa Halal. Sidang ini untuk memutuskan kehalalan produk dengan batas waktu paling lama 3 hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan atau pengujian produk dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Pasal 48 UU Ciptaker itu mengubah ketentuan Pasal 33 dalam UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Semula, dalam Pasal 33 UU JPH, tidak diatur batas waktu penetapan kehalalan produk.